Rote Ndao, Nasionalnews.co.id – Kasus Kerusakan Bendungan Olakayo menuai komentar dari sejumlah pakar hukum, demikian diungkapkan Dr. Aksi Sinurat,SH. M.Hum saat diminta komentar kepada media ini, via wats App, Rabu, (10/8/2021)
Menurut Doktor Hukum Undana Kupang,
Bendungan Olakayo di Desa Suebela, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, NTT,
Dikatannya, Dari sisi pembangunan, bahwa pembangunan infrastruktur sangatlah penting untuk kemaslahatan meningkatkan perekonomian masyarakat, namun pembangunan tersebut haruslah berkualitas agar dapat berdayaguna untuk akses hidup dan kehidupan masyarakat yang semakin meningkat SDM serta perekonomiannya.
Ketika suatu pembangunan infrastruktur yang berbiaya fantastis (3 M) tersebut (dalam hal ini Bendungan Olakayo) diduga tidak sesuai dengan Bestek sehingga dengan fakta dan kasat mata bahwa bendungan tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa Suebela, karena pekerjaan bendungan tersebut sejak tahun 2019 sampai dengan 2021 sudah beberapa kali diperbaiki namun selalu mengalami kerusakan berat sehingga tidak berguna samasekali bagi masyarakat.
Menurut hemat saya, bahwa
“selama pekerjaan bendungan Olakayo masih dalam masa pemeliharaan, maka kontraktor tetap bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi. Meskipun dari pihak Dinas PUPR Kabupaten Rote Ndao sudah memerintahkan dan menjaga dalam perbaikan kembali bendungan tersebut Th 2021, bahkan dikatakan perbaikan tersebut sudah melebihi tebal dan kualitas yang sebelumnya sehingga sudah semakin kuat, namun tetap rusak dan kerusakan tersebut dikategorikan sebagai “Bencana Alam”,
sehingga jebol lagi, dan karena kerusakan terakhir ini merupakan kategori bencana alam lalu dari pihak Dinas PUPR Rote Ndao sudah melakukan tender/lelang fisik untuk dikerjakan kembali, namun hal ini tentu menjadi pertanyaan yang penting bahwa secara material pekerjaan bendungan Olakayo tahap pertama saja belum selesai dipertanggungjawabkan, kok dari Dinas PUPR melakukan tender/lelang fisik kembali?
Seharusnya pekerjaan Bendungan yang mengalami beberapa kali kerusakan tersebut, tidak dapat dianggap selesai begitu saja.
tentu dapat dipertanggungjawabkan secara uji material dari pihak yang berkopeten (mungkin dari politeknik) dan juga uji kontrak perjanjian dari klinis hukum.
Setiap pernyataan dan pertanggungjawaban tersebut harus ada dasarnya.
Tidaklah elok, dan tidak cukup menyelesaikan suatu masalah yang memakai dana miliaran rupiah untuk sebuah pembangunan yang nyata-nyata penyelesaiannya tidak dapat berguna, lalu dengan pernyataan tanpa beban bahwa kerusakan tesebut karena akibat bencana alam, kemudian dilakukan tender ulang.
Pihak yang berkompeten (pihak kepolisian atau jaksa penyelidik/penyidik) harusnya dapat menyelidiki persoalan tersebut apakah telah terjadi peristiwa pidana dalam persoalan ini.
Hal ini sangat penting diketahui karena menyangkut hak-hak ekonomi masyarakat dan masyarakat serta pihak media sudah berperan untuk mengawal dana pembangunan yang memakan biaya tidak sedikit. Pihak perencana dan kontraktor masih bisa didekati secara persuasif untuk mengetahui apakah dana tersebut sesuai dengan peruntukannya.
Janganlah kiranya ditengah fenomena Pandemi Covid 19 ini, dana pembangunan yang diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat raib begitu saja karena menyalahi perencanaan tidak sesuai bestek.
Mari kita merenung sejenak tetang ketentuan UU Pemberantasan TIPIKOR Pasal 2 Ayat (2), menentukan “Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dilakukan”.
Menurut penjelasan UU Tipikor, yang dimaksudkan dengan “keadaan tertentu” antara lain jika korupsi tersebut dilakukan pada waktu terjadi bencana alam nasional.
Nah awas!!, jangan-jangan pandemik juga termasuk bencana alam yang bukan hanya nasional, melainkan bencana dunia dan angin seroja beberapa bulan yang lalu merupakan bencana nasional.
Diakhir komentarnya berharap kasus tersebut dapat diselesaikan dengan bijaksana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
( Dance henukh )