Jakarta, Nasionalnews.co.id– KH. As’ad Said Ali, menjelaskan serbuan Covid varian Delta yang sempat mengagetkan banyak negara termasuk Indonesia mulai surut, meskipun bukan berarti ancaman Covid telah berakhir karena virus terus bermutasi menebar ketakutan. Berdasarkan sukses story sejumlah negara khususnya Amerika Serikat dan Inggris, Covid memakan korban minimal manakala suatu negara telah menginjeksi warganya dengan “Vaksin”. Besarnya jumlah vaksin yang dibagikan ke masyarakat berbanding terbalik dengan jumlah angka kematian karena covid.
“Semakin banyak vaksin dibagikan, semakin kecil jumlah angka kematian warga masyarakat karena telah tercipta “imunitas kelompok ” tegas mantan Wakabin, lewat keterangan tertulis, Sabtu 24/7/2021
Menurutnya, kebijaksanaan Indonesia untuk terus menggenjot vaksin sudah tepat dan sedang berproses menuju 70 juta orang. Selanjutnya bagaimana menjaga proses tersebut secara konsisten agar mencapai 70 persen jumlah penduduk, meskipun persoalannya tidak sederhana itu, mengingat produksi vaksin dunia yang terbatas dan adanya kendala persoalan koordinasi pusat dan daerah serta antara daerah tingkat satu dengan tingkat dua.
Tapi vaksin saja tidak cukup, diperlukan disiplin masyarakat yang kuat dalam menerapkan prokes. Disiplin sosial menjadi suatu yang mahal seperti yang kita rasakan, sulit diterapkan. Selama ini kita alpa mendidik disiplin sosial, terutama kurangnya suri tauladan para elite. Pada hal Ibadah khususnya sholat lima waktu menjadi contoh bagaimana disiplin itu berjalan secara instan dimana makmum mengikuti gerakan imam dengan tertib secara otomatis, suatu kesadaran patuh terhadap norma tanpa dipaksa oleh siapapun.
Kelemahan masyarakat lainnya yang terbaca selama Covid 19 adalah mudah terpengaruh asing. Anjuran atau gerakan anti vaksin, dan masker serta tidak percaya virus merupakan pengaruh gerakan politik dari luar negeri yang dikenal dengan Kelompok Ultra Liberal. Gerakan itu muncul dari internal kaum Neo – Liberalisme sendiri setelah melihat realitas bahwa kaum Neo Liberal gagal mengendalikan globalisasi. Ternyata globalisasi lebih menguntungkan kaum kongglomerat tertentu ( seperti Bill Gate & Rockefeller ) karena mereka bisa memindahkan modal dan kegiatan usaha ke suatu negara lain yang lebih menguntungkan. Dan secara tidak terduga Republik Rakyat Cina mengambil manfaat lebih besar , tampil sebagai raksasa ekonomi dunia. Kaum Ultra Liberal tersebut menjadikan para konglomerat itu sebagai “ kambing hitam “ dituduh sebagai biang keladi Covid bekerjasama dengan WHO. Suatu tuduhan yang absurd dan karena asumsi konyol inilah Trump memutuskan negaranya keluar dari WHO.
Bukankah musuh Neo Liberal ( peradaban Barat ) menurut F Fukuyama adalah budaya Timur ( China, Jepang,India ) dan Islam ( Timur Tengah & Asia Tenggara ) ?. Jangan heran tokoh Ultra Liberal Amerika : Donald Trump mengumumkan perang dagang lawan Cina yang menjadi saingannya , anti Islam dan mendukung gerakan White Supremacy menekan warga kulit berwarna. Inilah ciri utama gerakan tersebut, kenapa sebagian kita mau terpengaruh ?
Ultra Liberal menganggap Covid diciptakan oleh konglomerat global ( mereka menyebutnya iluminati ) suatu pihak yang memperoleh keuntungan besar dan dianggap bertanggung jawab mundurnya ekonomi negara kulit putih tertentu khususnya AS dan negara Anglo Saxon. Terjadi apa sering kita dengar dengan “ proxy war” atau teory konspirasi yang canggih. Pada hal sebenarnya konflik diantara internal kaum Neo Liberalisme itu sendiri.
Gerakan anti vaksin dan covid diseluruh dunia termasuk di Indonesia, merupakan bagian dari upaya mereka untuk mengendalikan globalisasi demi kepentingan white supremacy. Pro-kontra terhadap isu Covid dan Vaksin berlangsung diseluruh dunia. Di Amerika misalnya gubernur California ( Partai Republik ) menolak kebijakan federal ( Demokrat ) tentang kebijakan keharusan memakai masker, suatu pertentangan antara partai Demokrat vs kelompok radikal dalam Partai Republik ( Trump cs ).
“Kenapa kita di Indonesia khususnya sejumlah kaum intelek terpengaruh oleh agenda Kelompok Ultra Liberal ? Tentu saja sesuai azas demokrasi perbedaan pendapat tidak dilarang, tetapi dalam hal ini suatu perbedaan yan8g tidak produktif. Covid adalah suatu masalah atau realitas yang harus diatasi bukan sekedar untuk diperdebatkan. Kita mengambil pelajaran dari Amerika Serikat, tokoh Ultra Liberal Presiden Trump tidak terpilih lagi sebagai Presiden karena kegagalannya mengatasi Covid yang bersumber pada pandangan politiknya yang ultra liberal. Presiden Joe Biden sebaliknya meyakini covid harus dibasmi dengan kebijakan yang rasional dan pragmatis. Hanya kurang dari 6 bulan , Biden mampu membalik keadaan, mengebut injeksi Vaksin dan kini menuju normalisasi kehidupan. Trump dihukum oleh rakyatnya terlempar dari kekuasaan” pungkasnya.