Indonesia memiliki peluang besar untuk mewujudkan kedaulatan energi melalui pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Di tengah krisis iklim global dan keterbatasan sumber energi fosil, EBT muncul sebagai solusi strategis yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkelanjutan secara ekonomi dan sosial. Namun, hingga kini, pemanfaatannya masih jauh dari optimal.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki potensi EBT sebesar lebih dari 3.600 gigawatt (GW). Sumber daya tersebut meliputi tenaga surya, air, angin, biomassa, panas bumi, hingga energi laut. Ironisnya, dari potensi besar itu, pemanfaatannya baru mencapai sekitar 13,1 GW atau kurang dari 1 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa potensi besar belum diiringi komitmen dan kebijakan yang kuat untuk merealisasikannya.
Berbagai hambatan struktural menghalangi percepatan pengembangan EBT. Di antaranya adalah regulasi yang belum berpihak, skema tarif yang belum menarik bagi investor, serta proses perizinan yang rumit. Selain itu, keterbatasan infrastruktur, khususnya jaringan listrik di daerah terpencil, juga menjadi penghambat utama. Tidak kalah penting, rendahnya literasi energi terbarukan di kalangan masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri.
Pemerintah perlu mengambil langkah nyata dan tegas dalam membenahi kebijakan energi nasional. RUU Energi Baru dan Terbarukan yang saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR harus segera disahkan. Regulasi ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi percepatan transisi energi. Selain itu, insentif fiskal, kemudahan investasi, dan kepastian hukum harus diberikan kepada pelaku industri yang berkomitmen mengembangkan energi hijau.
Pemerintah daerah juga perlu dilibatkan secara aktif, terutama dalam pemanfaatan potensi EBT lokal yang selama ini belum tergarap maksimal. Sinergi pusat dan daerah, didukung oleh partisipasi masyarakat, akan mempercepat tercapainya target bauran energi nasional sebesar 23 persen dari EBT pada tahun 2025.
Transisi energi bukan hanya soal teknis dan ekonomi. Ini adalah persoalan masa depan bangsa. Ketersediaan energi yang bersih, merata, dan berkelanjutan akan menentukan kualitas pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang. Jika Indonesia serius menggarap EBT, maka visi Indonesia Emas 2045 bukanlah angan-angan semata.
Momentum ini tidak boleh disia-siakan. Dunia sedang bergerak menuju era energi bersih. Indonesia, dengan segala potensi yang dimiliki, harus berada di garis depan perubahan ini. Energi baru terbarukan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mutlak demi masa depan yang lebih hijau, berdaulat, dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.