MOJOKERTO, Halaqah Kebangsaan Pencinta Tanah Air Indonesia (Petanesia) yang digelar di Institute KH Abdul Chalim (IKHAC) Amanatul Ummah, Pacet Mojokerto, banyak menyoroti tentang kondisi bangsa.
Melansir bangsa online, Rabu, 24/08/22, Acara halaqoh kebangssan tersebut dihadiri Dewan Penasihat Pusat Petanesia Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, Pengamat Politik AS Hikam, Mantan Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Ali, serta ratusan peserta dari berbagai elemen
Dalam paparannya, Kiai Asep menyinggung kondisi Kabupaten Mojokerto yang masih jauh dari cita-cita maju, adil, dan makmur. Padahal, kata Kiai Asep, Mojokerto merupakan miniatur Indonesia.
Menurutnya, cita-cita mulia itu belum bisa dicapai karena Pemimpin Mojokerto tidak berorientasi ibadah dan tidak berorientasi pada kemaslahatan dan kebaikan rakyat.
“Jadi karena kiprah mereka demikian, maka tidak mungkin terwujudnya Indonesia maju, adil, dan makmur. Padahal kriteria maju, adil, makmur itu sudah jelas ada. Pada masa sabahat Umar bin Abdul Azis sudah melaksanakannya, hanya dengan zakat sudah mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Rakyat yang tidak berdaya dimodali sehingga mereka memiliki pekerjaan,” ujar Kiai Asep.
Kiai Asep juga menyoroti marawah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang saat ini menurun drastis. Jauh dari nilai-nilai NU terdahulu, di mana NU dikenal sebagai organisasi penyelamat Bangsa. Bahkan, NU merupakan penggerak Kemerdekaan Indonesia.
Namun, kondisinya saat ini sangat jauh berbeda. Apalagi ada pengurus NU yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terjerat kasus korupsi.
“Kita (Petanesia) nanti akan koordinasikan, kita akan membuat surat terbuka, atau kalau kita membuat rekomendasi, maka ke mana rekomendasi itu diarahkan. Setidaknya sebagai suara dari para Pencinta Indonesia dan ulamanya, kita tidak boleh kita berdiam diri, harus ada gerakan, jangan sampai Indonesia lumpuh,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah tersebut.
Dalam kesempatan itu, AS Hikam juga menyoroti kondisi bangsa, terutama implementasi demokrasi di Indonesia. Ia mencontohkan keberadaan KPK, yang belum bisa menurunkan indeks persepsi korupsi.
Ia juga menyoroti Mahkamah Agung (MK) yang justru mengesahkan undang-undang seperti cipta kerja yang menambah derita rakyat. Padahal, MK seharusnya bisa menjadi lembaga yang mampu memutus kegalauan rakyat, terkait keberadaan undang-undang yang dinilai tidak memihak rakyat.
Untuk itu, AS Hikam mengajak masyarakat Indonesia kembali ke khittoh kebangsaan seperti yang diajarkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Mantan Presiden Indonesia.