Dunia hukum kembali bergetar oleh kabar operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bukan pejabat kelas teri, kali ini yang terjerat adalah seorang Wakil Menteri. Publik dikejutkan bukan hanya oleh status jabatan sang tersangka, tetapi juga oleh pameran barang bukti: belasan mobil mewah, motor besar, dan deretan kendaraan bernilai fantastis yang seolah hendak menegaskan bahwa korupsi di negeri ini masih saja merajalela. Namun di balik sorotan kamera dan gegap gempita pemberitaan, muncul pertanyaan besar: apakah semua ini benar-benar demi penegakan hukum, atau sekadar pertunjukan publik?
Jakarta -“Baru kali ini KPK menunjukkan barang bukti yang begitu banyak,” ujar Nengah Sujana, S.H., M.H., seorang praktisi hukum yang dikenal lugas dalam bicara. Ia merujuk pada penangkapan Wakil Menteri Immanuel Ebenezer, atau Noel, yang belakangan namanya menjadi headline di berbagai media. Dari penggeledahan, KPK menyita 15 mobil mewah serta beberapa unit motor besar. Publik pun gempar, seakan-akan baru menyadari betapa rakusnya tangan-tangan pejabat yang semestinya mengabdi pada rakyat.
Namun, Nengah tidak serta merta terbawa arus euforia. Ia justru mengajukan pertanyaan yang menohok: “Sebenarnya barang bukti ini terkait dengan tindak pidana apa? Kalau ini hanya pemerasan kecil soal sertifikasi K3, bagaimana mungkin hasil rampasannya sebesar ini? Kalau ini dianggap kasus receh saja bisa sebesar itu, lalu bagaimana dengan korupsi di pertambangan, hulu-hilir minyak? Itu bisa lebih besar lagi.”
Kegelisahan itu menggaung di ruang publik. Di media sosial, di warung kopi, hingga di gedung parlemen, orang membicarakan kasus Noel dengan nada yang sama: heran sekaligus sinis.
KPK dalam Sorotan: Ritme Naik Turun Penegakan
OTT bukanlah barang baru. Sejak berdirinya KPK, operasi senyap ini menjadi senjata utama membongkar praktik korupsi. Namun, seperti dikatakan Nengah, ritmenya naik turun. Ada masa ketika KPK begitu disegani karena rajin menjerat pejabat tinggi, ada pula masa ketika publik meragukan tajinya.
Kritik terbaru datang karena KPK kini memilih memamerkan barang bukti kepada publik. Padahal sebelumnya, lembaga ini lebih menekankan pada proses hukum ketimbang panggung pemberitaan. “Apakah ini upaya KPK untuk mensejajarkan diri dengan aparat penegak hukum lain, seperti kepolisian yang sering memamerkan barang sitaan narkoba?” tanya Nengah. 22/8/25.
Pertanyaan itu wajar. Di satu sisi, transparansi memang penting. Publik berhak tahu apa saja hasil sitaan negara. Tetapi di sisi lain, ada kesan teatrikal: seolah-olah kasus ini lebih besar dari kenyataannya. Jika benar hanya kasus pemerasan, mengapa harus ditampilkan dengan gegap gempita?
Kasus Noel: Dari Sertifikasi K3 hingga Jaringan Lebih Luas
Menurut informasi yang beredar, kasus Noel bermula dari dugaan pemerasan terkait sertifikasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Sekilas, kasus ini terdengar kecil—bahkan receh—dibanding skandal korupsi infrastruktur, pertambangan, atau migas.
Tetapi fakta bahwa KPK menyita barang bukti bernilai miliaran rupiah menimbulkan dugaan bahwa ada jaringan lebih luas. “Saya sangsi kalau ini sekadar kasus suap biasa. Jaringannya pasti besar,” kata Nengah.
Jika benar ada jejaring, maka kasus Noel bisa menjadi pintu masuk membongkar gurita korupsi di sektor-sektor strategis. Dari sertifikasi, pintu bisa terbuka ke proyek-proyek besar, hingga ke lingkaran elit. Inilah yang membuat publik menunggu: apakah KPK benar-benar akan melanjutkan pengusutan, atau berhenti di satu nama?
Presiden Prabowo dan Sikap Tanpa Kompromi
Presiden Prabowo Subianto sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak akan kompromi terhadap korupsi. “Tidak ada tebang pilih,” katanya. Bagi Nengah, sikap ini sejalan dengan OTT KPK. Namun, ia juga mengingatkan bahwa presiden harus berhati-hati.
“Kalau korupsi di sertifikasi saja sudah sebesar ini, bayangkan kalau di sektor tambang atau migas. Itu lebih besar lagi. Maka presiden harus konsisten, jangan sampai ada kompromi sedikit pun,” tegasnya.
Langkah pertama yang ditunggu publik adalah sikap tegas terhadap pejabat yang tersangkut kasus. Jika sudah menjadi tersangka, kata Nengah, maka seharusnya langsung dicopot dari jabatannya. “Seperti kasus yang pernah saya advokasi di BUMN: begitu jadi tersangka, langsung di-PHK. Tidak perlu menunggu putusan pengadilan.”
Rule of Law: Antara Prinsip dan Praktik
“Equality before the law.” Semua orang sama di hadapan hukum, tanpa memandang jabatan atau kedudukannya. Prinsip ini indah di atas kertas, tetapi sulit diwujudkan.
Dalam praktiknya, vonis bagi pelaku korupsi di Indonesia jarang mencapai batas maksimal. Hukuman di atas 15 tahun hampir tak pernah terdengar. Padahal korupsi sudah diberi label extra ordinary crime. Bahkan wacana hukuman mati pun pernah bergema, meski hingga kini hanya sebatas retorika.
“Korupsi itu kan sudah dikategorikan kejahatan luar biasa. Maka pantas hukuman mati dijatuhkan. Tapi coba kita lihat, apakah ada yang divonis 20 tahun? Paling tinggi di bawah 10 tahun. Itu pun tergantung siapa pelakunya,” kritik Nengah.
Politik, Jabatan Wamen, dan Reformasi Struktural
Kasus Noel juga membuka diskusi baru: relevansi jabatan Wakil Menteri. Bagi Nengah, posisi ini sebenarnya tidak terlalu mendesak. “Dulu tidak ada jabatan wamen, cukup Dirjen dan Direktur. Jadi kalau ada wamen terjerat kasus, ini momentum untuk mengevaluasi.”
Menurutnya, pemborosan jabatan justru memperlebar ruang korupsi. Semakin banyak kursi, semakin besar potensi transaksi gelap. Dengan mengurangi jabatan, struktur birokrasi bisa lebih ramping dan lebih mudah diawasi.
Penegakan Hukum di Persimpangan Jalan
Kekhawatiran lain muncul dari lemahnya penegakan hukum di tingkat kehakiman. Kasus Wilmar menjadi contoh betapa hukum bisa runtuh ketika integritas aparat peradilan tergadaikan.
“Kita harus banyak berdoa agar hukum ditegakkan seadil-adilnya,” kata Nengah, setengah serius setengah getir. Baginya, aturan hukum di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik. Yang kurang adalah konsistensi aparat untuk menegakkannya.
“Pertimbangan penegakan hukum harus sesuai aturan yang ada, bukan berdasar siapa yang diadili dan siapa yang mengadili.”
Hukuman Mati: Aspirasi atau Ilusi?
Di tengah kegaduhan kasus Noel, wacana hukuman mati bagi koruptor kembali mencuat. Nengah mendukung penuh gagasan ini. “Saya sebagai bagian dari masyarakat sepakat hukuman mati terhadap koruptor,” ujarnya.
Namun, ia sadar bahwa gagasan ini masih menuai pro-kontra. Di Senayan, sebagian legislator menyatakan keberatan dengan alasan HAM, sebagian lagi mendukung dengan alasan efek jera. “Wakil rakyat mestinya bisa menangkap aspirasi masyarakat dengan merevisi UU Tipikor agar mengakomodasi hukuman mati,” tambah Nengah.
Apakah ini akan terwujud? Jawabannya bergantung pada kemauan politik. Selama DPR dan pemerintah tidak satu suara, hukuman mati akan tetap menjadi wacana di udara.
Masa Depan Penegakan Hukum
Kasus Noel hanyalah satu potongan dari puzzle besar korupsi di Indonesia. Ia bisa menjadi momentum kebangkitan, bisa pula hanya episode kecil yang segera dilupakan.
Yang jelas, masyarakat menunggu konsistensi. Presiden dituntut berani mengambil sikap tegas, KPK dituntut berhenti bermain teatrikal dan fokus pada proses hukum, sementara aparat penegak hukum dituntut menegakkan aturan tanpa pandang bulu.
“Kalau tidak ada konsistensi, maka hukum kita akan runtuh. Kalau ada konsistensi, hukum kita bisa menjadi penopang peradaban,” tutup Nengah. (Red 01)