Jakarta – Mata Uang Garuda mencatatkan kinerja mengejutkan sekaligus mengecewakan belakangan ini. Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pasca bank sentral AS (The Fed) memberi sinyal suku bunga akan berada di level yang tinggi dalam beberapa waktu ke depan. Pelemahan rupiah ini bisa berdampak buruk bahkan membawa ‘Tsunami’ ke ekonomi Indonesia.
Sebagaimana diketahui, pada perdagangan kemarin Selasa 3/10/23 rupiah berakhir melemah 0,32% ke posisi Rp 15.575/US$ terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Parahnya, sepanjang perdagangan kemarin rupiah sempat melemah hingga titik tertingginya ke posisi Rp15.610/US$ meskipun kembali ditutup di bawah level psikologis Rp15.600/US$ posisi paling rendah sejak 6 Januari 2023 alias sekitar sembilan bulan terakhir.
Sementara indeks dolar AS (DXY) pada Selasa 3/10/23 ada di posisi 107,02 pada perdagangan kemarin. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak November 2022 atau 10 bulan lebih.
Jika pelemahan rupiah hal ini terus berlanjut, maka petaka ekonomi di Tanah Air tak bisa terhindarkan. Pasalnya, pelemahan rupiah akan berimplikasi kepada banyak hal mulai dari kenaikan harga barang impor, lonjakan bunga deposito dolar, hingga membengkaknya utang perusahaan.
Sepanjang tahun ini, rupiah sudah melemah 0,06%. Bila dilihat pergerakan rupiah sepanjang 2023, posisi rupiah saat ini memang bukan yang terendah. Posisi terlemah sepanjang tahun ini tercatat pada 6 Januari 2023 yakni Rp 15.630/US$1. Sementara itu, posisi terkuatnya adalah pada 1 Mei yakni Rp 14.665 per US$1.
Secara bulanan, rupiah hanya menguat empat kali yakni pada Februari, Maret, Mei, dan Juni. Selebihnya rupiah tumbang, Pada Agustus lalu, mata uang Garuda bahkan ambles 1,49% sebulan.
Melihat posisi terkuatnya tahun ini yakni pada posisi Rp 14.665/US$ pada perdagangan 1 Mei lalu dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin, rupiah sudah ambles lebih dari 6%. Ada apa gerangan? Mengapa rupiah terus jatuh?
Suku bunga AS yang Masih Hawkish
Sebagaimana kita ketahui, September lalu masih lekat di ingatan Bank sentral paling ‘powerfull’ di dunia, bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5,25-5,50% sesuai ekspektasi pasar.
Meski masih menahan suku bunga di level 5,25%-5,50%, The Fed dalam dot plot masih mengindikasikan sinyal hawkish sebagai bagian dari langkah Bank Sentral AS untuk mencapai sasaran inflasi 2%. Sayangnya, inflasi AS kini mulai nanjak lagi.
Hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) juga mengindikasikan jika kebijakan moneter yang ketat akan tetap berlanjut hingga 2024 dan akan memangkas suku bunga lebih sedikit dari indikasi sebelumnya.
Dokumen dot plot The Fed menunjukkan suku bunga akan ada di kisaran 5,5-5,75% pada tahun ini. Artinya, ada indikasi jika The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps lagi hingga akhir tahun dan tak menutup kemungkinan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali lagi menjelang akhir tahun.
The Fed menjelaskan jika mereka akan memutuskan kebijakan ke depan secara hati-hati berdasarkan data yang berkembang serta mempertimbangkan outlook serta risikonya. Namun, melihat data ekonomi AS yang masih solid sepertinya akan sulit bagi The Fed mengambil langkah berbalik menurunkan suku bunga.
Pejabat bank sentral AS (The Fed) mengatakan bahwa kebijakan moneter perlu tetap bersifat restriktif untuk “beberapa waktu” agar inflasi kembali turun ke target The Fed sebesar 2%. Namun kesatuan mereka dalam hal tersebut menutupi perdebatan yang sedang berlangsung mengenai kemungkinan kenaikan suku bunga lagi tahun ini.
Besarnya ekspektasi kenaikan suku bunga tercermin dalam jajak pendapat pasar. Perangkat CME FedWatch menunjukkan bahwa 30,9% hasil survei menargetkan The Fed akan mengerek suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada Federal Open Market Committee (FOMC) November mendatang. Padahal, angkanya baru berada di kisaran 14% pada pekan lalu.
Pertumbuhan dan Melemahnya Ekonomi China
Lesunya ekonomi China menjadi salah satu faktor lemahnya rupiah. Pertumbuhan ekonomi China memang kerap disorot belakangan ini, dan tak main-main, lesunya permintaan China dan global di tengah masih tingginya suku bunga dan lemahnya perdagangan mampu memangkas perekonomian di kawasan tersebut.
Bank dunia merevisi ke bawah ekonomi Sang Naga. Ekonomi terbesar kedua di dunia ini kemungkinan akan tumbuh 4,4% tahun depan, turun dari 4,8% yang diproyeksikan sebelumnya, di tengah krisis properti, peningkatan utang, dan dorongan yang memudar dari pembukaan kembali pasca-Covid. Perkiraan PDB 2023 untuk China dipertahankan pada 5,1%.
“Meskipun faktor-faktor dalam negeri cenderung menjadi pengaruh yang dominan terhadap pertumbuhan di China, faktor-faktor eksternal akan mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap pertumbuhan di sebagian besar negara-negara lain di kawasan ini,” kata Bank Dunia dalam laporan terbarunya East Asia and Pacific October 2023 Economic Update.
Pertumbuhan ekonomi China melambat seiring dengan upaya para pengambil kebijakan untuk memperbaiki penurunan pasar properti, dengan fokus permasalahan pada pengembang besar Country Garden. Kekhawatiran semakin meningkat mengenai apakah negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini sedang mendekati titik krisis.
China telah mengumumkan serangkaian langkah dalam beberapa bulan terakhir untuk menopang pertumbuhan, dengan pelonggaran beberapa aturan pinjaman pada minggu lalu oleh bank sentral dan regulator keuangan utama untuk membantu pembeli rumah.
Perekonomian Negeri Tirai Bambu ini berisiko kehilangan target pertumbuhan tahunan sebesar 5% karena para pejabat bergulat dengan memburuknya kemerosotan properti, lemahnya belanja konsumen dan jatuhnya pertumbuhan kredit, yang menyebabkan para analis menurunkan perkiraan untuk tahun ini.
Laporan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2023 dari Biro Pusat Statistik China menunjukkan ekonomi China hanya bertumbuh 0,8% pada April-Juni 2023 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi China sebesar 6,3%.
Berbeda dengan konsumen di negara-negara Barat, sebagian besar masyarakat China harus mengurus diri mereka sendiri selama pandemi Covid-19 dan belanja balas dendam yang diharapkan oleh beberapa ekonom setelah China dibuka kembali tidak pernah terjadi.
Selain itu, permintaan ekspor China telah melemah karena mitra dagang utama mereka sedang bergulat dengan kenaikan biaya hidup.
Dan dengan 70% kekayaan rumah tangga China terikat pada sektor real estate, perlambatan besar di sektor ini juga berdampak pada sektor perekonomian lainnya.
Selain menciptakan kekhawatiran di pasar keuangan, pelemahan ekonomi China juga bisa berdampak buruk ke Indonesia. Beijing adalah mitra dagang utama Indonesia dengan kontribusi sekitar 24-25%. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas Indonesia ke China pada Januari-Agustus 2023 mencapai US$ 40,22 miliar atau naik tipis 3,02%.
Sebagai perbandingan, pada periode Januari-Agustus 2022, ekspor Ri ke China melonjak 29,8%. Bila ekonomi China melemah maka ekspor ke China bisa semakin melandai sehingga akan berdampak kepada pertumbuhan Indonesia ataupun pasokan dolar.
Beijing juga menjadi salah satu investor terbesar Indonesia. Investasi China ke Indonesia pada Januari-Juni 2023 mencapai US$ 3,8 miliar atau hanya kalah dari Singapura yang ada di peringkat pertama.
Melonjaknya dolar AS membuat dolar menjadi incaran banyak negara. Persaingan untuk mendapatkan dana dolar pun semakin ketat.
Persaingan menarik nasabah dolar AS sangat terasa di semua kawasan, termasuk di Asia. Berikut gambaran betapa persaingan bank-bank di Asia dalam menarik nasabah deposito valas.
Sumitomo Mitsui Banking Corp. (SMBC) dari Jepang akan menaikkan suku bunga deposito berjangka dalam mata uang dolar (USD) menjadi 5,3% dari 0,01%, menurut Nikkei, tingkat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan oleh pemberi pinjaman besar AS untuk penawaran serupa.
DBS Bank Singapore memberikan rate yang lebih rendah dibandingkan Jepang yang hanya sebesar sekitar 4,76-5,06% untuk satu tahun. Imbal hasil paling besar bisa didapatkan nasabah jika deposit USD antara US$250.001-500.000.
Berbeda halnya dengan UOB Singapore yang memberikan deposito valas USD lebih tinggi dibandingkan DBS untuk satu tahun sebesar 5,15-5,40%. Investor dapat memperoleh imbal hasil tertinggi hanya dengan deposit antara US$250.000-499.999.
HSBC Hong Kong menawarkan imbal hasil deposito valas USD dalam satu tahun sebesar 4% dengan minimal deposit US$2.000 atau lebih. Sementara untuk tenor enam bulan, justru imbal hasil yang ditawarkan lebih tinggi yakni 5,2% per tahunnya.
Bank Mandiri menawarkan deposito USD dengan bunga dibayar bulanan dan jatuh tempo untuk tenor satu tahun dengan imbal hasil sekitar 0,75-1,75%. Sementara untuk bunga yang dibayar di muka, Bank Mandiri memberikan imbal hasil sekitar 0,68-1,65%.
Kejadian perang deposito seperti ini mengingatkan kita pada kejadian 2012 dan 2013. Perbankan berlomba-lomba menawarkan bunga deposito di atas penjaminan LPS.Bunga deposito tinggi ini ditawarkan pada deposan pemilik dana besar.
Bank melakukan ini karena likuiditas ketat dan bank memilih cara ini untuk mengamankan likuiditas. Ketika itu bahkan ada bank yang menawarkan bunga deposito hingga 11%.
Perang bunga deposito tinggi membawa masalah bagi perbankan terutama bagi bank-bank kecil. Sebab, banyak dana-dana dari bank kecil akhirnya beralih ke bank menengah dan besar. Bank kecil bisnisnya terancam karena likuiditas ketat dan tak bisa menghabiskan laba.
Bank kecil tidak bisa memiliki sumber dana cukup untuk menawarkan bunga simpanan dolar. Lonjakan bunga deposito pada akhirnya bisa berimbas kepada bunga deposito rupiah serta penyaluran kredit.
Bank yang berfungsi dalam intermediasi pembiayaan membutuhkan aliran dana nasabah dalam bentuk simpanan untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk kredit.
Perang bunga deposito merugikan masyarakat. Ketika bank memberikan bunga deposito tinggi maka bunga yang akan dikenakan kepada nasabah peminjam akan semakin tinggi pula. Bila bunga kredit tinggi, debitur akan menghadapi masalah pada pembayaran cicilan sehingga bisa mengerek rasio kredit bermasalah (NPL)
Bunga kredit yang tinggi juga bisa membuat pengusaha menahan diri mengajukan kredit yang artinya pengusaha akan mengerem ekspansi bisnis. Hal ini bisa membuat pertumbuhan ekonomi terganggu. Maklum, kredit perbankan masih menjadi sumber utama pembiayaan perekonomian.
Faktor Tahun Politik
Menjelang tahun politik seperti sekarang ini investor tampaknya cenderung wait and see dan menunggu kepastian dulu. Terlebih, dua dari bakal calon presiden (bacapres) belum mengumumkan pasangan yang akan dipilih untuk maju dalam pilpres 2024.
Sikap wait and see ini berkaitan erat dengan kebijakan di masa depan. Investor perlu mengetahui kebijakan seperti apa yang kira-kira terjadi di Indonesia ke depan dengan melihat bacapres ataupun memproyeksi siapa bacapres terkuat.
Selama gelaran Pemilu 2024 terdapat tren di mana rupiah mengalami pelemahan dan investor asing ogah masuk ke pasar modal dalam negeri. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan dalam gelaran Pemilu 2019, Rupiah mengalami pelemahan. Namun, dia mengatakan pelemahan itu hanya terjadi sesaat dan pulih kembali setelah pemenang Pemilu diumumkan.
“Kalau kita lihat di 2019 cenderung cukup bias karena saat itu global menghadapi perang dagang, sehingga dampaknya relatif terhadap Rupiah mengalami pelemahan menjelang Pemilu,” kata Josua Pardede Senin 25/9/23.
Meski demikian, dia mengatakan tren serupa juga terjadi pada gelaran Pemilu 2004 dan 2009. Saat itu, kata dia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Rupiah cenderung mengalami pelemahan sesaat. Namun, harga Rupiah dan IHSG kembali pulih begitu hasil Pemilu keluar dan kondisi politik kembali stabil.
“Pada saat hasil pemilu keluar dan kondisi politik cenderung stabil biasanya confidence investor rebound lagi dan indikator di pasar keuangan kembali,” kata dia.
Josua mengatakan kajiannya juga mencermati adanya tren perilaku investor asing selama gelaran pemilu. Dia mengatakan di satu sisi kegiatan Pemilu mendorong peningkatan di sisi konsumsi masyarakat. Namun, kata dia, di sisi lain kegiatan investasi asing cenderung menurun. “PMA (penanaman modal asing) cenderung negatif, tetapi ini hanya sementara dan akan rebound lagi,” imbuhnya.
Kepala ekonom Bank
Mandiri Andry Asmoro mengatakan merujuk pada data gelaran Pemilu di masa-masa sebelumnya, pertumbuhan investasi cenderung melandai di tahun politik. Dia mengatakan para investor memilih untuk menunda melakukan investasi sampai Pemilu selesai.
Menurutnya, untuk memutus lingkaran lesu investasi di tahun politik, pemerintah harus terus melanjutkan program penarik investasi yang sudah berjalan. Misalnya untuk program hilirisasi nikel, program itu masih bisa berlanjut di tengah gelaran politik 5 tahunan sekali. Nikel sudah dijalankan, hilirisasi kepada industri lain juga bisa dilakukan.
Tingginya kekhawatiran investor akibat tekanan dari eksternal dan kondisi dalam negeri membuat investor memilih untuk melepas Surat Berharga Negara (SBN). Akibatnya rupiah pun semakin tertekan karena besarnya capital outflow.
Data Bank Indonesia berdasarkan transaksi BI pada 25 – 27 September 2023 menunjukkan investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp7,77 triliun terdiri dari jual neto Rp7,86 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp2,07 triliun di pasar saham dan beli neto Rp2,16 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Data Kementerian Keuangan juga menunjukkan kepemilikan asing pada SBN jauh berkurang dari 15,39% pada akhir Agustus 2023 menjadi 14,98% per 2 Oktober 2023.
Kondisi ini juga tercermin dari lonjakan imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang menjadi bencmark. Imbal hasil SBN tenor 10 tahun terbang ke 7,02% yang merupakan level tertingginya sejak November 2022 atau 10 bulan terakhir.
Tingginya imbal hasil SBN mengikuti lonjakan pada imbal hasil US Treasury. Pada perdagangan kemarin, imbal hasil US treasury tenor 10 tahun menyentuh 4,8% atau level tertingginya sejak Juli 2007 atau 16 tahun terakhir.
jika imbal hasil US Treasury terus meningkat bukan tidak mungkin hal ini juga akan memicu arus modal untuk keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia untuk kembali ke AS. Mengingat saat ini posisireal yield AS sudah kembali ke zona positif seiring dengan inflasi yang terus menurun.
BI Keluarkan Jurus Untuk Topang Rupiah
Stabilitas rupiah kini menjadi fokus kebijakan Bank Indonesia setelah inflasi melandai seusai ekspektaso.
Untuk diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 September 2023 memutuskan untuk mempertahankanBI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.
Untuk menarik dolar dari negara lain dan menjaga stabilitas rupiah, BI sebenarnya sudah mengeluarkan beberapa amunisi.yaitu intervensi di pasar valas dengan fokus pada transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
Pemerintah juga telah merevisi aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) berlaku efektif 1 Agustus 2023, termasuk dengan mewajibkan adanya periode menyimpan yakni tiga bulan dan batas US$ 250.000.
Bank Indonesia (BI) juga menerbitkan instrumen baru untuk menopang stabilitas rupiah yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Instrumen ini adalah tambahan dari sederet ‘senjata’ yang dibuat BI untuk menjaga kekuatan rupiah, terutama dari gempuran dolar AS.
Instrumen ini juga menjadi instrumen pro-market dalam rangka memperkuat upaya pendalaman pasar uang, mendukung upaya menarik aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio, serta untuk optimalisasi aset SBN yang dimiliki Bank Indonesia sebagai underlying.