MEMBACA PRAKTEK POLITIK MUTAKHIR DI INDONESIA

JAKARTA, – Majalah Tempo edisi November 2023 memuat secara eksklusif pendapat ahli ilmu politik asal Amerika Serikat, William Liddle. Sang Ahli pada mulanya memperkirakan Indonesia akan menjadi adil makmur dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi.

Namun setelah periode ke 2, pendapatnya berubah drastis terutama setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditempatkan kedudukannya dibawah Presiden dan lahirnya UU Omnibus Law yang merugikan buruh serta Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menjadi ipar Presiden, sehingga memungkinkan upaya meloloskan sang putera Gibran menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres).

“As’ad Said Ali menjelaskan, kalau dilihat dari sudut pandang demokrasi liberal yang memposisikan MK pada posisi yang tinggi sebagai pengawal konstitusi, maka campur tangan ekskutif terhadap lembaga negara yang independen merupakan pelecehan dan membahayakan konstitusi”, ujar As’ad yang pernah menjabat sebagai wakil ketua umum PBNU Sabtu (11/11/23) dalam keterangan tertulis.

Kata As’ad ditegaskan kembali, Apalagi kasus tersebut terkait dengan pencalonan sang putera sebagai Cawapres yang dalam hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi Liberal bahwa kekuasaan politik bukan jabatan yang bisa “diwariskan “.

Salah pandang terhadap prinsip demokrasi liberal ( Neo – Lib ) yang diadopsi dalam UUD amandemen 2002 mungkin bisa terjadi pada siapapun, karena nilai – nilai bangsa Indonesia cq kekeluargaan atau gotong royong tidak seluruhnya paralel dengan nilai peradaban Barat yang individualistis. Oleh karena itu banyak pihak yang mulai menyadari perlunya perubahan UUD amandemen 2002 yang dinilai sudah melenceng dari cita cita para “ pendiri bangsa “.

Dalam sistem “ demokrasi liberal- neo lib” yang diadopsi oleh negara negara “ Anglo Saxon” antara lain AS, Inggris, Kanada, Australia, selain nilai individualisme, juga sangat sensitif terhadap nilai feodalisme seperti pencalonan anggota keluarga pejabat politik menjadi eksekutif diluar proses politik yang konstitusional.

“Hal ini dilatar belakangi oleh sejarah munculnya liberalisme dalam revolusi Perancis , dimana mereka menuntut hilangnya kekuasaan politik kaum bangsawan atas dasar turun temurun dan digantikan dengan kekuasaan yang dipilih oleh rakyat,” jelasnya.

Tidak semua warga bangsa dan bahkan para politisi yang paham benar nafas dari demokrasi liberal yang dalam hal tertentu tidak selaras dengan jiwa kebersamaan atau komunalitas.

Salah satu contoh yang mudah adalah ribuan hak tanah hak ulayat yang berpindah ke pengusaha besar. Kita meniru demokrasi liberal apa adanya tanpa menyaring nilai atau konsep politik, sosial – ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa.

“Dalam demokrasi Liberal, equality atau prinsip kesetaraan ekonomi diabaikan. Kesetaraan hanya berlaku dibidang politik. Persaingan bebas atau free fight competition berlaku maksimal. Seseorang tidak dibatasi kekayaannya sejauh mampu membayar pajak,” imbuhnya.

Sebaliknya di negara negara yang menganut sistem Sosial Demokrat / Eropa Daratan, berlaku pembatasan relatip terhadap penguasaan ekonomi . Hal ini dilatar belakangi oleh sejarah penguasaan atau monopoli ekonomi kaum bangsawan yang bisa membahayakan kehidupan politik dan demokrasi untuk mencapai keadilan sosial melalui kolusinya dengan penguasa.

“Demikianlah usaha gerakan politik Eropa itu untuk mencegah pemerintahan yang oligarkhis,” kata As’ad.

“Apa yang kita lihat dalam episode praktek politik akhir- akhir ini memberikan kesadaran kepada kita tentang pentingnya menjaga perkembangan politik dan demokrasi agar tidak terjerumus kedalam jurang dimana elemen – elemen monarkhi membentuk perjalanan sejarah politik dan demokrasi kita kedepan yang bertentangan dengan ruh Pancasila,” pungkas As’ad mantan wakil kepala badan intelijen negara (Waka-BIN).

(Red-03)