Bandung – Kebijakan publik di Indonesia sering kali menghadapi tantangan kompleks yang menyebabkan kegagalan dalam mencapai tujuan pembangunan. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) mencatat deflasi bulanan pada Indeks Harga Konsumen (IHK) di Januari dan Februari 2025, disertai tekanan pada nilai tukar rupiah dan ketidakstabilan ekonomi lainnya. Hal tersebut menandakan perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan pemerintah. Kegagalan kebijakan strategis, seperti distribusi bantuan sosial Covid-19, Program Dana Desa, dan Implementasi UU Cipta Kerja, memperlihatkan dampak luas akibat kurangnya pembelajaran sistematis.
Konsep policy learning menawarkan pendekatan untuk mengubah kegagalan menjadi peluang perbaikan. Richard Rose dalam Lesson-Drawing in Public Policy (1993) menegaskan bahwa pemerintah dapat belajar dari pengalaman masa lalu dan negara lain melalui proses evaluasi yang terstruktur. Peter J. May (1992) dalam Policy Learning and Failure menambahkan bahwa kegagalan sering terjadi karena lemahnya mekanisme pembelajaran dalam organisasi pemerintahan. Dengan mengadopsi policy learning, Indonesia dapat merancang kebijakan yang lebih efektif, adaptif, dan responsif terhadap dinamika sosial-ekonomi, termasuk proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dll. Artikel ini akan menganalisis urgensi policy learning untuk mengatasi tantangan kebijakan dan memperkuat tata kelola publik.
Landasan Teoretis Policy Learning
Menurut Prof Dadang. Policy learning adalah proses di mana pemerintah menyesuaikan pendekatan, strategi, atau instrumen kebijakan berdasarkan pengalaman masa lalu atau praktik dari yurisdiksi lain. Peter M. Haas (1992) dalam Introduction: Epistemic Communities and International Policy Coordination menjelaskan bahwa policy learning melibatkan integrasi pengetahuan baru melalui evaluasi hasil kebijakan, didukung oleh komunitas epistemik seperti ahli dan akademisi. Richard Rose (1991) dalam What is Lesson-Drawing? menambahkan bahwa pembelajaran ini memerlukan analisis sistematis terhadap keberhasilan dan kegagalan untuk menghasilkan solusi yang kontekstual.Terdapat tiga pendekatan utama dalam policy learning yaitu :
1. Instrumental learning berfokus pada perbaikan alat kebijakan, seperti mekanisme anggaran atau regulasi, untuk meningkatkan efisiensi teknis.
2. Social learning, sebagaimana dijelaskan Peter Hall (1993) dalam Policy Paradigms, Social Learning, and the State, melibatkan perubahan nilai dan norma melalui interaksi dengan masyarakat sipil, akademisi, dan media, memastikan kebijakan selaras dengan konteks sosial-budaya.
3. Political learning, menurut Hugh Heclo (1974) dalam Modern Social Politics in Britain and Sweden, berpusat pada adaptasi terhadap dinamika politik, seperti resistensi atau konflik kepentingan, untuk meningkatkan penerimaan kebijakan.
Peter J. May (1992) dalam Policy Learning and Failure menegaskan bahwa kegagalan kebijakan sering disebabkan oleh lemahnya mekanisme pembelajaran dalam organisasi pemerintahan. Sementara itu, Paul Sabatier (1988) dalam An Advocacy Coalition Framework memperkenalkan policy-oriented learning, yang menekankan perubahan permanen dalam pemikiran atau perilaku melalui interaksi antar koalisi aktor kebijakan. Ketiga pendekatan ini—instrumental, social, dan political learning—saling melengkapi, membentuk kerangka holistik untuk merumuskan kebijakan yang responsif, inklusif, dan efektif.
Mengapa Pemerintah Perlu Belajar dari Kegagalan
Kegagalan kebijakan publik di Indonesia menunjukkan perlunya policy learning untuk menghadapi tantangan pembangunan yang semakin kompleks. Dengan belajar dari kegagalan, pemerintah dapat mengidentifikasi kelemahan, memperbaiki pendekatan, dan merancang kebijakan yang lebih efektif. Dua contoh utama—respons terhadap pandemi Covid-19 dan kebijakan pendidikan—menggambarkan pentingnya pembelajaran ini untuk mencegah pengulangan kesalahan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Selama pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar karena keterbatasan kebijakan yang ada. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan tidak dirancang untuk menangani krisis kesehatan berskala global seperti Covid-19. UU Penanggulangan Bencana lebih berfokus pada bencana alam, seperti gempa bumi, dan tidak mengatur koordinasi respons pandemi secara spesifik. Sementara itu, UU Karantina Kesehatan tidak memberikan panduan yang cukup untuk langkah-langkah seperti penguncian wilayah (lockdown) atau distribusi bantuan sosial. Akibatnya, respons pemerintah, seperti penyaluran bansos, sering kali tidak tepat sasaran, dengan data penerima yang tumpang tindih dan kurangnya koordinasi antar instansi. Kegagalan ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan yang ada dan mengembangkan regulasi yang lebih adaptif untuk krisis serupa di masa depan.
Kegagalan dalam sektor pendidikan juga memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya mekanisme pembelajaran. Program Wajib Belajar 9 Tahun, yang dimulai pada 1994, bertujuan meningkatkan akses pendidikan dasar, tetapi penelitian dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK, 2023) menunjukkan bahwa program ini tidak memberikan dampak signifikan terhadap tingkat kelulusan atau pencapaian pendidikan anak. Selain itu, amanat konstitusional pada 2002, yang mewajibkan alokasi 20% anggaran negara untuk pendidikan, tidak berhasil meningkatkan angka pendaftaran sekolah menengah. Kedua kebijakan ini gagal karena lemahnya penegakan aturan dan kurangnya dukungan infrastruktur, seperti sekolah dan tenaga pengajar di daerah terpencil. Misalnya, banyak daerah pedesaan tidak memiliki akses ke fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga target wajib belajar tidak tercapai. Kegagalan ini menggarisbawahi perlunya evaluasi menyeluruh untuk memastikan kebijakan pendidikan didukung oleh implementasi yang kuat.
Kedua kasus ini menegaskan bahwa tanpa policy learning, kegagalan kebijakan akan terus berulang, menghambat pembangunan nasional. Dengan mengevaluasi kelemahan kebijakan Covid-19 dan pendidikan, pemerintah dapat merancang solusi yang lebih tepat, seperti memperbarui regulasi krisis, meningkatkan koordinasi antarinstansi, dan memperkuat infrastruktur pendidikan. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia membangun kebijakan yang lebih responsif terhadap tantangan kompleks saat ini.
Peraturan dan Regulasi Terkait Policy Learning di Indonesia
Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terkait dengan pembelajaran kebijakan dan evaluasi kebijakan antara lain:
No
Peraturan
Tahun
Substansi Terkait Policy Learning
No :1 Peraturan UU No. 25 Tahun 2004. tahun 2004.
Substansi Terkait Policy Learning :
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional – mewajibkan evaluasi dan monitoring
No :2. Peraturan UU No. 23 Tahun 2014. Tahun 2014
Substansi Terkait Policy Learning :
Pemerintahan Daerah – mengatur mekanisme evaluasi kinerja daerah
No : 3. Peraturan PP No. 39 Tahun 2006. Tahun 2006.
Substansi Terkait Policy Learning :
Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
No : 4 Peraturan Perpres No. 29 Tahun 2014. Tahun 2014.
Substansi Terkait Policy Learning :
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
No : 5 peraturan Inpres No. 7 Tahun 1999. Tahun 1999.
Substansi Terkait Policy Learning :
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional secara eksplisit mengatur tentang pentingnya evaluasi dan pembelajaran dalam proses perencanaan pembangunan. Pasal 19 undang-undang ini menyebutkan bahwa pengendalian atas pelaksanaan rencana pembangunan terdiri atas pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Evaluasi dilakukan untuk menilai kinerja rencana pembangunan, yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran untuk penyusunan rencana pembangunan selanjutnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan lebih lanjut mengoperasionalkan ketentuan evaluasi dalam UU No. 25/2004. PP ini mengatur bahwa evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan rencana pembangunan, yang mencakup evaluasi terhadap pencapaian sasaran, pelaksanaan kebijakan, dan pelaksanaan program dan kegiatan.
Data dan Fakta Kegagalan Kebijakan di Indonesia
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama dengan The Policy Lab University of Melbourne dan Knowledge Sector Initiative (KSI), terdapat berbagai indikator kegagalan kebijakan di Indonesia yang menunjukkan pentingnya penerapan Policy Learning.
1. Sektor: pendidikan.
Kegagalan Kebijakan : Wajib Belajar 9 Tahun.
Dampak : Tidak ada peningkatan signifikan partisipasi pendidikan
tahun : 1994-2010
2. Sektor : Kesehatan.
Kegagalan Kebijakan :Penanganan Awal COVID-19.
Dampak : Keterlambatan respons, tingginya angka kematian tahun 2020
3. Sektor : Lingkungan
Kegagalan Kebijakan
Kebijakan Nikel Downstreaming
Dampak :Tingginya emisi CO2, pencemaran lingkungan, tahun 2020-sekarang
4. Sektor :Regulasi
Kegagalan Kebijakan : Omnibus Law Cipta Kerja
Dampak :Resistensi masyarakat, ketidakpastian hukum, tahun 2020
Data dari studi tersebut menunjukkan bahwa agenda reformasi regulasi di Indonesia sudah mendesak dilakukan. Jumlah regulasi yang terus bertambah secara signifikan diperburuk oleh substansi yang saling bertentangan. Hal ini mencerminkan kurangnya mekanisme pembelajaran dalam proses penyusunan kebijakan.
Dalam konteks kebijakan industri hijau Indonesia, kegagalan tata kelola memungkinkan terjadinya kerusakan lingkungan dan sosial yang sebenarnya dapat dicegah. Kebijakan downstreaming nikel menciptakan tingkat emisi CO2, polusi, dan limbah yang tinggi, sementara keselamatan dan kesehatan pekerja tidak terlindungi secara memadai.
Implementasi Policy Learning: Pembelajaran dari Pengalaman China
China memberikan contoh sukses penerapan policy learning melalui pendekatan bertahap yang dikenal sebagai pilot project. Pendekatan ini melibatkan pengujian kebijakan di wilayah atau sektor terpilih sebelum diterapkan secara nasional, memungkinkan pemerintah untuk mengidentifikasi potensi masalah, mengevaluasi hasil, dan melakukan penyesuaian berbasis bukti. Sebagai contoh, reformasi ekonomi pedesaan China pada akhir 1970-an dimulai dengan uji coba sistem tanggung jawab rumah tangga (household responsibility system) di provinsi Anhui dan Sichuan. Menurut studi dari World Bank (2008) dalam China’s Economic Transformation, uji coba ini memungkinkan pemerintah China untuk mengevaluasi dampak kebijakan terhadap produktivitas pertanian sebelum diterapkan secara nasional pada 1980-an, sehingga meminimalkan risiko kegagalan dan meningkatkan efektivitas kebijakan.
Pendekatan bertahap ini memungkinkan pembelajaran berbasis bukti dengan mengurangi dampak kegagalan pada skala besar. Dengan menguji kebijakan di wilayah tertentu, pemerintah China dapat mengumpulkan data empiris, mengidentifikasi hambatan implementasi, dan memperbaiki desain kebijakan sebelum pelaksanaan penuh. Pendekatan ini juga melibatkan kolaborasi dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lokal, memastikan kebijakan sesuai dengan konteks sosial-ekonomi setempat. Keberhasilan pendekatan ini terlihat dari peningkatan produktivitas pertanian sebesar 50% dalam satu dekade setelah reformasi (World Bank, 2008), yang menunjukkan kekuatan policy learning berbasis uji coba.
Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa untuk meningkatkan keberhasilan kebijakan, terutama di sektor industri informal pedesaan yang memiliki tantangan kompleks seperti keterbatasan infrastruktur dan kapasitas sumber daya manusia. Uji coba kebijakan dapat dilakukan di wilayah dengan karakteristik mendukung, seperti daerah dengan sistem pertanian modern, pemerintah daerah yang memiliki kapasitas administratif memadai, tenaga kerja dengan keterampilan teknis dasar, dan infrastruktur yang memadai, misalnya Kabupaten Banyuwangi atau Sleman. Sebagai contoh, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dapat diuji dalam skala kecil, seperti pengembangan infrastruktur inti di satu kecamatan terpilih, untuk mengatasi tantangan seperti koordinasi antar instansi, dampak lingkungan, dan kesiapan sumber daya sebelum pelaksanaan penuh. Pendekatan ini memungkinkan pemerintah Indonesia untuk mengidentifikasi dan mengatasi potensi kegagalan sejak dini, sekaligus membangun kebijakan yang lebih adaptif dan kontekstual
Mekanisme Policy Learning yang Efektif
Untuk menciptakan mekanisme Policy Learning yang efektif, pemerintah Indonesia perlu mengembangkan sistem yang komprehensif yang mencakup beberapa komponen utama:
1. Perlu dibentuk unit khusus yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mendiseminasi pelajaran dari implementasi kebijakan. Unit ini harus memiliki akses yang luas terhadap data dan informasi mengenai kinerja kebijakan dari berbagai sektor.
2. Perlu dikembangkan sistem monitoring dan evaluasi yang sistematis dan berkelanjutan. Sistem ini harus mampu mengidentifikasi indikator keberhasilan dan kegagalan kebijakan secara real-time, sehingga pemerintah dapat melakukan penyesuaian atau koreksi dengan cepat. Sistem monitoring dan evaluasi ini juga harus melibatkan berbagai stakeholder, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta.
3. Perlu diciptakan platform atau forum untuk berbagi pengalaman dan pembelajaran antar instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Forum ini dapat berupa konferensi rutin, workshop, atau platform digital yang memungkinkan pertukaran informasi dan best practices secara berkelanjutan.
Tantangan dalam Implementasi Policy Learning
Implementasi Policy Learning di Indonesia menghadapi berbagai tantangan struktural dan kultural, yaitu :
1. Resistensi organisasi terhadap perubahan. Banyak institusi pemerintah yang cenderung mempertahankan status quo dan enggan mengakui kegagalan atau kesalahan dalam implementasi kebijakan. Budaya organisasi yang tidak mendukung transparansi dan akuntabilitas menjadi hambatan utama dalam proses pembelajaran.
2. Tantangan kedua adalah keterbatasan kapasitas teknis dan analitis dalam melakukan evaluasi kebijakan. Banyak institusi pemerintah yang belum memiliki SDM yang kompeten dalam melakukan analisis kebijakan yang mendalam. Selain itu, keterbatasan data dan informasi yang akurat juga menjadi hambatan dalam melakukan pembelajaran yang efektif.
3. Tantangan ketiga adalah fragmentasi dalam sistem pemerintahan yang menyebabkan kurangnya koordinasi antar instansi. Seringkali, pembelajaran dari satu instansi tidak terdiseminasi dengan baik ke instansi lain yang menghadapi masalah serupa. Hal ini menyebabkan pengulangan kesalahan yang sama di berbagai instansi atau daerah.
Rekomendasi untuk Peningkatan Policy Learning
Berdasarkan analisis terhadap berbagai kegagalan kebijakan dan pembelajaran dari pengalaman negara lain, terdapat beberapa rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas Policy Learning di Indonesia.
1. Perlu dilakukan reformasi struktural dalam sistem perencanaan dan evaluasi kebijakan. Hal ini mencakup penguatan peran unit-unit evaluasi di setiap kementerian dan lembaga, serta pembentukan sistem koordinasi yang lebih baik antar instansi.
2. Kedua, perlu dikembangkan sistem insentif yang mendorong pembelajaran dan inovasi dalam organisasi pemerintah. Sistem ini harus memberikan penghargaan bagi institusi atau individu yang berhasil melakukan pembelajaran dan perbaikan dari kegagalan, sekaligus tidak memberikan sanksi yang berlebihan terhadap kegagalan yang dilakukan dengan itikad baik.
3. Ketiga, perlu dilakukan investasi yang signifikan dalam pengembangan kapasitas SDM pemerintah dalam bidang analisis kebijakan dan evaluasi program. Hal ini mencakup pelatihan reguler, program pertukaran dengan negara lain, dan kerjasama dengan institusi akademik untuk meningkatkan kualitas analisis kebijakan.
Policy Learning merupakan komponen fundamental dalam tata kelola pemerintahan yang efektif. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan seringkali terjadi karena kurangnya mekanisme pembelajaran yang sistematis dari pengalaman masa lalu. Kegagalan dalam implementasi wajib belajar sembilan tahun, penanganan awal pandemi COVID-19, dan berbagai kebijakan lainnya menunjukkan pentingnya pengembangan kapasitas pembelajaran dalam organisasi pemerintah.
“Untuk meningkatkan efektivitas Policy Learning, pemerintah Indonesia perlu mengembangkan sistem yang komprehensif yang mencakup unit evaluasi yang kuat, sistem monitoring yang berkelanjutan, platform berbagi pengalaman, dan budaya organisasi yang mendukung pembelajaran dan inovasi. Tantangan yang dihadapi memang tidak mudah, namun dengan komitmen yang kuat dari pimpinan dan dukungan dari berbagai stakeholder, Policy Learning dapat menjadi kunci untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat”, jelas Prof. Dadang, saat wawancara khusus dengan awak media, Rabu, 4/6/25.
Pembelajaran dari pengalaman negara lain, seperti China dengan pendekatan pilot projectnya, menunjukkan bahwa implementasi bertahap dan sistematis dapat mengurangi risiko kegagalan kebijakan. Indonesia perlu mengadopsi pendekatan serupa dengan melakukan uji coba kebijakan di daerah terpilih sebelum implementasi nasional. Dengan demikian, Policy Learning bukan hanya tentang belajar dari kegagalan, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang proaktif dalam mencegah kegagalan di masa depan.