Berita  

Pragmatisme Politik di Indonesia: Antara Realita dan Idealisme

Jakarta – Dalam lima tahun terakhir, politik di Indonesia kerap dianggap semakin pragmatis, dengan para pemegang kekuasaan yang kurang sensitif terhadap idealisme yang tercantum dalam UUD 1945. Penguasa lebih sering fokus pada kepentingan jangka pendek dan sempit, mengabaikan kepentingan strategis yang seharusnya menjadi prioritas kebijakan demi kesejahteraan rakyat. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang semestinya mendukung kepentingan rakyat banyak menjadi terabaikan.

Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) KH. As’ad Said Ali, dalam sebuah wawancara dengan media, mengungkapkan pandangannya terkait pragmatisme politik ini. Beliau mengingat kembali pengalaman masa kuliahnya di Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada, khususnya pada jurusan Hubungan Internasional. Salah satu dosen, Drs. Usman TB MA, pernah mengutip definisi politik dari buku terbitan luar negeri yang berbunyi, “Politics is the authoritative allocation of values.” Dosen tersebut dengan sinis menerjemahkan definisi ini sebagai “politik adalah pembagian rezeki yang sah.”

Perdebatan seru pun terjadi di ruang kuliah, dengan banyak mahasiswa yang berpendapat bahwa definisi politik seharusnya lebih menekankan pada “distribusi nilai” untuk kemaslahatan dan kemakmuran bangsa. As’ad mengingat bahwa pandangan ini sangat relevan dengan situasi politik pada awal Orde Baru di tahun 1970-an, di mana jabatan strategis pemerintah sering kali diberikan kepada militer dan kroni penguasa, sementara posisi yang terkait pembangunan ekonomi diserahkan kepada sejumlah teknokrat terkemuka.

Meskipun selama pemerintahan Presiden Joko Widodo telah terjadi peningkatan infrastruktur secara signifikan, seperti pembangunan jalan tol yang masif, sejumlah bandara, dan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, As’ad menilai bahwa manfaat dari proyek-proyek tersebut kurang dirasakan oleh rakyat kecil. Menurutnya, fokus pembangunan sering kali kurang tepat sasaran dan justru menambah beban utang pemerintah yang kian membesar.

Selain itu, As’ad juga menyoroti lambatnya realisasi janji pemerintah untuk membangun 14 ribu pasar yang sangat strategis bagi rakyat. Rencana pembangunan “tol laut” untuk memperlancar distribusi barang dan jasa antara Pulau Jawa dan daerah luar Jawa pun belum terwujud, yang menurutnya disebabkan oleh kurangnya kredibilitas pejabat dan adanya kebocoran anggaran akibat pragmatisme yang berlebihan.

“Pragmatisme memang diperlukan dalam politik, tetapi idealisme yang menyangkut kepentingan rakyat harus tetap menjadi prioritas utama. Tanpa idealisme, pragmatisme hanya akan menjadi jebakan bagi para pemegang kekuasaan,” ujar As’ad mengakhiri wawancara belum lama ini.

(Red 01)