Berita  

Zarof Ricar Hadirkan Dua Ahli Hukum Pidana: Gratifikasi Bersifat Netral, Jadi Suap Bila Tak Dilaporkan

Jakarta – Persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan terdakwa Zarof Ricar kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat pada Kamis (15/5/2025).

Dalam persidangan tersebut, tim penasihat hukum menghadirkan dua ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga, yakni Dr. Chairul Huda, SH, MH dan Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, SH, MH.

Kedua ahli diminta memberikan penjelasan terkait unsur-unsur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur tentang suap. Dr. Chairul Huda menjelaskan bahwa kedua pasal tersebut merupakan delik suap aktif, yang meski tidak secara eksplisit menggunakan frasa “dengan sengaja”, tetap tergolong sebagai delik kesengajaan (dolus) karena menggunakan kata kerja “memberi”.

“Pasal 5 dan 6 adalah delik suap aktif dan pasif, yang sebenarnya merupakan delik berpasangan. Pasal 5 ayat 1 menyasar siapa saja sebagai pemberi, sementara ayat 2 hanya dapat dikenakan pada penyelenggara negara atau pegawai negeri sebagai penerima,” ujar Chairul Huda.

Menurut dia, perbedaan utama antara Pasal 5 dan Pasal 6 terletak pada kualifikasi penerima. Pasal 6 berlaku khusus untuk penyelenggara negara tertentu seperti hakim atau pejabat penegak hukum lainnya.

Harus Ada “Meeting of Mind”

Chairul menekankan pentingnya adanya “meeting of mind” atau kesepahaman antara pihak pemberi dan penerima agar suatu tindakan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana suap. “Kalau tidak terjadi kesepahaman, maka tidak terjadi delik ini,” tegasnya.

Dalam konteks gratifikasi, Chairul menyebut bahwa pemberian tersebut bersifat netral. Namun, akan menjadi tindak pidana apabila tidak dilaporkan dalam waktu 30 hari sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.

“Yang menjadikannya melawan hukum adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak melaporkan penerimaan gratifikasi dalam jangka waktu yang ditentukan,” lanjutnya.

Nilai Gratifikasi dan Beban Pembuktian

Ahli juga menjelaskan bahwa pembuktian gratifikasi tergantung pada jumlah nominal yang diterima. Jika di bawah Rp10 juta, jaksa penuntut umum yang wajib membuktikan bahwa itu adalah suap. Namun, jika nilainya melebihi Rp10 juta, maka beban pembuktian beralih kepada penerima untuk menunjukkan bahwa pemberian tersebut bukan berkaitan dengan jabatan.

Dalam keterangannya, Chairul juga menyebutkan bahwa tidak semua harta yang dimiliki oleh seseorang yang pernah menjadi pejabat negara bisa langsung dinyatakan sebagai hasil gratifikasi. “Harus diuraikan bagian mana dari harta itu yang berasal dari gratifikasi, dan kapan diterimanya,” ujarnya.

Contohnya, bila uang ditemukan di rumah seseorang yang sudah pensiun sebagai PNS, maka yang menjadi fokus adalah apakah uang tersebut diterima saat ia masih aktif dan tidak dilaporkan kepada KPK.

Permufakatan Jahat

Chairul Huda juga menjelaskan bahwa dalam kasus suap, harus ada permufakatan jahat antara dua pihak, yakni pemberi dan penerima. Jika hanya satu pihak yang memiliki niat, maka tidak dapat dikategorikan sebagai permufakatan jahat.

“Permufakatan jahat itu harus ada kesepakatan dua pihak untuk melakukan kejahatan. Tidak bisa hanya sepihak,” tegasnya.

Dengan kesaksian para ahli ini, penasihat hukum terdakwa berharap agar majelis hakim dapat mempertimbangkan kembali unsur kesengajaan dan pemenuhan syarat formil dalam dakwaan terhadap Zarof Ricar. (Ramdhani)