Opini  

ASPEK HUKUM DAN IMPLIKASI PENETAPAN TERSANGKA KORUPSI TANPA PENILAIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA NENGAH SUJANA, SH, MH PRAKTISI HUKUM PADA KANTOR NENGAH SUJANA & REKAN LAW FIRM JAKARTA

A. Pendahuluan

Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia sering kali menimbulkan kontroversi, terutama ketika penyidik menetapkan tersangka tanpa didukung oleh penilaian kerugian keuangan negara yang jelas dari lembaga berwenang seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum universal, seperti asas praduga tak bersalah, due process of law, dan kepastian hukum. Penetapan tersangka bukan hanya merupakan langkah prosedural, tetapi juga berdampak signifikan terhadap hak asasi manusia, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, dan stabilitas sosial.
Dalam konteks hukum Indonesia, kewenangan BPK dan BPKP untuk melakukan penilaian kerugian keuangan negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tanpa penilaian yang tepat dari lembaga ini, penetapan tersangka dapat terjadi secara prematur, menimbulkan potensi ketidakadilan dan kesalahan hukum yang merugikan pihak yang tidak bersalah.

Dampak dari penetapan tersangka yang tidak diiringi dengan penilaian kerugian yang jelas tidak hanya mempengaruhi hak tersangka, tetapi juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan mengganggu stabilitas sosial. Keputusan yang tidak didasarkan pada bukti yang akurat dapat memperburuk ketidakpastian hukum dan mengundang kritik terhadap efektivitas serta kredibilitas lembaga penegak hukum.
Artikel ini, akan menganalisis lebih dalam mengenai landasan hukum penetapan tersangka tanpa penilaian kerugian negara, serta dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Selain itu, artikel ini akan mengusulkan solusi sistematis yang mencakup reformasi dalam proses hukum, penguatan koordinasi antar-lembaga terkait, dan pembaruan regulasi yang dapat menyeimbangkan antara efektivitas penegakan hukum dengan perlindungan hak tersangka, guna mewujudkan penegakan hukum yang transparan dan adil.

B. Landasan Hukum Penetapan Tersangka

Penetapan tersangka di Indonesia diatur dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini mendefinisikan tersangka sebagai seseorang yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga melakukan tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup mensyaratkan minimal dua alat bukti sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yang mencakup keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Ketentuan ini menjadi pedoman utama penyidik dalam menetapkan tersangka, termasuk dalam kasus tindak pidana korupsi. Namun, dalam praktiknya, penyidik sering kali menginterpretasikan bukti permulaan secara luas, termasuk menggunakan hasil penyelidikan internal atau dokumen tanpa penilaian kerugian resmi.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menjadi landasan hukum utama penegakan hukum korupsi. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara dapat dipidana. Penyidik sering berargumen bahwa unsur “memperkaya diri” dapat dibuktikan melalui alat bukti seperti dokumen transaksi, keterangan saksi, atau bukti transfer keuangan tanpa memerlukan penilaian mengenai adanya kerugian negara dari lembaga resmi. Pendekatan ini didukung oleh teori delik formil Moeljatno (1983) dalam Asas-Asas Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa tindak pidana dianggap terjadi saat perbuatan yang dilarang dilakukan, tanpa harus membuktikan akibat hukumnya.

Sementara itu, Pasal 3 ayat (1) UU Tipikor menyoroti tentang penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana karena jabatan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Penyidik menganggap bukti seperti konflik kepentingan, penyimpangan prosedur, atau tindakan melampaui kewenangan cukup untuk menetapkan tersangka. Pandangan ini sejalan dengan teori abuse of power Carl J. Friedrich (1972) dalam The Pathology of Politics, yang mendefinisikan penyalahgunaan kekuasaan sebagai penggunaan wewenang di luar batas yang ditetapkan, sehingga merugikan kepentingan publik. Namun, kedua pasal ini tetap menyebutkan potensi kerugian negara sebagai unsur esensial, yang menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan penetapan tersangka tanpa penilaian kerugian resmi.

Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan BPK sebagai lembaga konstitusional yang berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 31/PUU-X/2012 memperkuat posisi ini dengan menegaskan bahwa hanya BPK yang berwenang menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi. Putusan ini didasarkan pada prinsip kepastian hukum dan kewenangan lembaga negara, yang menjamin bahwa penilaian kerugian dilakukan oleh lembaga independen dan kompeten. Namun, Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 121 K/Pid.Sus/2020 memberikan interpretasi berbeda, dengan memperbolehkan perhitungan kerugian dari lembaga lain seperti BPKP selama didukung bukti kuat. Ketidaksinkronan ini menciptakan kebingungan dalam praktik penegakan hukum dan meningkatkan risiko ketidakpastian hukum.

C. Implikasi Hukum dan Hak Asasi Manusia

Penetapan tersangka tanpa penilaian kerugian keuangan negara yang sah dapat melanggar sejumlah prinsip hukum fundamental. Pertama, asas praduga tak bersalah, sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Dr. Andi Hamzah (1995) dalam Hukum Acara Pidana Indonesia dan Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengharuskan seseorang dianggap tidak bersalah hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Penetapan tersangka tanpa bukti kerugian yang jelas berisiko mencederai asas ini, karena tersangka dapat dianggap bersalah sebelum proses hukum selesai.

Kedua, prinsip due process of law, yang dikemukakan A.V. Dicey (1885) dalam Introduction to the Study of the Law of the Constitution dan diperkuat oleh Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej (2021) dalam Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, menuntut proses hukum yang adil dan wajar. Tanpa penilaian kerugian resmi, tersangka kesulitan membela diri, karena tidak ada dasar yang jelas untuk menyanggah tuduhan. Hal ini melanggar hak atas fair trial, yang merupakan elemen kunci dalam sistem peradilan pidana.

Ketiga, asas legalitas (nullum crimen sine lege), sebagaimana dijelaskan Prof. Dr. Sudarto (1983) dalam Hukum Pidana, mensyaratkan bahwa seseorang hanya dapat dipidana berdasarkan aturan hukum yang telah ada sebelumnya. Dalam kasus korupsi, unsur kerugian negara merupakan bagian integral dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Penetapan tersangka tanpa penilaian kerugian yang sah dapat dianggap tidak memenuhi unsur pidana, sehingga melanggar asas legalitas.

Keempat, kepastian hukum, yang merupakan pilar negara hukum menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie (2006) dalam Gagasan Negara Hukum Indonesia, terganggu ketika kerugian negara tidak dihitung secara resmi. Ketidakjelasan ini menciptakan ketidakadilan substantif bagi tersangka dan melemahkan integritas sistem peradilan.

Praktik penetapan tersangka tanpa penilaian kerugian keuangan negara berpotensi memicu kriminalisasi atau politisasi, terutama dalam kasus yang melibatkan pejabat publik atau tokoh politik. Hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, seperti KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan. Dari perspektif legitimacy theory (Suchman, 1995), kepercayaan publik terhadap institusi bergantung pada persepsi bahwa tindakan mereka sah dan adil. Penetapan tersangka yang prematur, tanpa dasar penilaian kerugian yang sah, dapat melemahkan legitimasi lembaga penegak hukum, karena masyarakat memandang hukum digunakan secara sewenang-wenang. Selain itu, teori kontrak sosial (social contract theory) Jean-Jacques Rousseau (1762) dalam The Social Contract menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum secara adil demi menjaga kepercayaan rakyat sebagai bagian dari kontrak sosial. Ketika hukum digunakan sebagai alat represi, kontrak sosial ini terganggu, memicu ketidakpuasan sosial.

Ketidakpastian hukum juga berdampak pada stabilitas ekonomi. Investor dan pelaku usaha dapat kehilangan kepercayaan terhadap iklim hukum yang tidak konsisten, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin kepastian hukum yang adil bagi setiap orang. Ketidakadilan sosial muncul ketika individu ditetapkan sebagai tersangka tanpa dasar yang kuat, menciptakan persepsi bahwa hukum menjadi alat represi. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 16 Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) 2003, yang diterima Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006, yang menekankan bahwa penegakan hukum korupsi harus menghormati hak asasi manusia dan mencegah penyalahgunaan wewenang. Praktik ini dapat memperburuk ketimpangan sosial, karena tersangka sering kali menghadapi stigmatisasi dan kerugian reputasi sebelum terbukti bersalah.

Praktik ini juga bertentangan dengan teori rule of law yang dikemukakan Montesquieu (1748) dalam The Spirit of the Laws. Teori ini menekankan bahwa kekuasaan negara harus dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Dalam konteks hukum positif Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Penetapan tersangka tanpa penilaian kerugian yang sah dapat dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang, yang bertentangan dengan prinsip pembatasan kekuasaan dan rule of law.

D. Pro dan Kontra Penetapan Tanpa Penilaian Kerugian

Penyidik berpendapat bahwa penetapan tersangka tanpa penilaian kerugian tetap sah berdasarkan beberapa alasan. Pertama, UU Tipikor tidak secara eksplisit mensyaratkan perhitungan kerugian keuangan negara sebagai prasyarat penetapan tersangka. Kedua, bukti permulaan seperti dokumen, keterangan saksi, atau bukti transfer keuangan dianggap cukup untuk memenuhi Pasal 1 angka 14 KUHAP. Ketiga, dalam kasus penyalahgunaan wewenang (Pasal 3 UU Tipikor), kerugian negara tidak harus dibuktikan secara nyata, melainkan cukup dengan potensi kerugian, sebagaimana didukung teori delik formil Moeljatno (1983) dan teori abuse of power Friedrich (1972). Pendekatan ini memungkinkan penyidik untuk bertindak cepat dalam kasus korupsi, yang sering kali membutuhkan respons segera untuk mencegah kerugian lebih lanjut.

Pihak yang menentang praktik ini menyoroti beberapa kelemahan hukum. Pertama, Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 menegaskan bahwa BPK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menentukan kerugian negara, sehingga penetapan tersangka tanpa audit BPK dianggap tidak sah. Kedua, tanpa penilaian kerugian, unsur pidana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak terpenuhi, melanggar asas legalitas (nullum crimen sine lege). Ketiga, praktik ini membatasi hak tersangka untuk membela diri, bertentangan dengan prinsip due process of law dan fair trial. Keempat, penetapan tersangka yang prematur dapat digunakan untuk kriminalisasi atau politisasi dan mencederai keadilan substantif.

Perbedaan interpretasi antara Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 dan Putusan MA No. 121 K/Pid.Sus/2020 mencerminkan ketidaksinkronan dalam sistem hukum Indonesia, terutama terkait dengan kewenangan lembaga yang menentukan kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi. Dalam Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hanya BPK yang memiliki kewenangan eksklusif untuk menghitung kerugian keuangan negara sesuai dengan Pasal 23E UUD 1945, guna menjamin independensi dan objektivitas. Sementara itu, Putusan MA memberikan fleksibilitas bagi lembaga lain, seperti BPKP, untuk menghitung kerugian negara, terutama dalam tahap penyidikan untuk efisiensi penegakan hukum. Perbedaan ini menciptakan ketidakpastian hukum yang dapat memperumit proses penyidikan dan meningkatkan risiko kriminalisasi atau politisasi.

Ketidaksinkronan ini juga memperlihatkan kelemahan dalam harmonisasi norma hukum. Putusan MK bersifat mengikat bagi seluruh lembaga negara, termasuk MA, sementara Putusan MA menunjukkan interpretasi yang berbeda, yang dapat mengabaikan kewenangan MK. Selain itu, ambiguitas dalam UU Tipikor memperburuk situasi ini, karena tidak secara eksplisit mengatur kewenangan BPK dalam penilaian kerugian keuangan negara sebelum penetapan tersangka. Ini berisiko mengurangi transparansi dan mengancam prinsip keadilan prosedural dalam penegakan hukum.

Untuk mengatasi masalah ini, langkah-langkah seperti harmonisasi regulasi, koordinasi antarlembaga, dan penguatan kapasitas BPK perlu dilakukan. Selain itu, pendirian komisi independen untuk mengawasi proses hukum dapat memastikan kepatuhan terhadap Putusan MK dan mencegah penyalahgunaan wewenang. Ketidaksinkronan ini harus segera diatasi agar penegakan hukum korupsi lebih konsisten, transparan, dan adil, sesuai dengan prinsip rule of law dan good governance.

Dari perspektif teori keadilan substantif John Rawls (1971) dalam A Theory of Justice, hukum harus menjamin keadilan tidak hanya secara prosedural, tetapi juga dalam hasilnya. Penetapan tersangka tanpa penilaian kerugian yang sah dapat menghasilkan ketidakadilan substantif, karena tersangka dapat menderita kerugian reputasi, finansial, dan emosional tanpa dasar hukum yang kuat. Teori ini memperkuat argumen bahwa penilaian kerugian oleh BPK diperlukan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak.

E. Penutup

Penetapan tersangka dalam kasus korupsi tanpa penilaian kerugian keuangan negara yang sah membawa implikasi hukum yang serius. Praktik ini tidak hanya berpotensi melanggar asas legalitas dan prinsip due process of law, tetapi juga dapat merusak integritas sistem peradilan di Indonesia. Tanpa adanya dasar hukum yang jelas mengenai kerugian negara, penetapan tersangka bisa menciptakan ketidakpastian hukum yang berbahaya, merusak kepercayaan publik terhadap penegak hukum, dan mengganggu stabilitas sosial.

Oleh karena itu, sangat penting untuk mengadopsi regulasi yang lebih jelas dan tegas mengenai prosedur penetapan tersangka dalam kasus korupsi, yang mengharuskan adanya penilaian kerugian negara yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan pelatihan yang lebih baik bagi penyidik dan aparat penegak hukum agar mereka dapat menerapkan prinsip-prinsip dasar hukum secara benar dan objektif.

Selain itu, koordinasi antara lembaga penegak hukum, pengawasan independen, dan sosialisasi publik menjadi langkah-langkah kunci dalam memperbaiki kualitas penegakan hukum di Indonesia. Pengawasan yang ketat terhadap proses penetapan tersangka juga penting untuk memastikan bahwa tindakan hukum yang diambil tidak melanggar hak asasi manusia dan prinsip keadilan.

Dengan langkah-langkah tersebut, penegakan hukum tindak pidana korupsi dapat berjalan lebih transparan dan akuntabel, sesuai dengan prinsip rechtsstaat (negara hukum) dan keadilan prosedural. Hal ini akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, menciptakan stabilitas sosial, dan menjamin bahwa hukum ditegakkan dengan adil tanpa mengorbankan hak-hak individu yang terlibat dalam proses hukum.