Opini  

Berkarakter dan Berbudaya Oleh: Dr. Septiana Agustin, S.Pd.,M.Pd

Terhimpit oleh derasnya arus globalisasi, menuntut segala sesuatu dikerjakan secara cepat dan tepat. Tanggap dalam merespon, cakap dan berpikir kritis, serta siap bersaing di era globalisasi merupakan modal yang diperlukan untuk mengembangkan diri sebagai pembelajar sepanjang hayat.

Para pembelajar baik di tingkat dasar, menengah, atas, maupun universitas diharapkan dapat aktif, komunikatif, kreatif, dan imajinatif menggunakan keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan profil pelajar Pancasila dalam bersaing di era globalisasi. Tidak hanya duduk diam, melipat tangan tanpa banyak kata jika tidak diminta, namun lebih berani mengemukakan pendapat tentang apa yang didapat, bereksplorasi dengan sejuta imajinasi, dan menciptakan hal-hal baru sesuai kreativitas yang dimiliki.

Dalam hal ini, peran guru dan orang tua sangat besar. Keduanya berpengaruh terhadap perkembangan cara berpikir seorang anak, baik dalam menentukan hal yang baik dan buruk, membuat keputusan sesuai hati nurani serta menentukan tindakan seturut norma yang berlaku.

Karakter yang terbentuk dalam diri seorang anak, sangat dipengaruhi oleh faktor keluarga dan lingkungan. Keluarga menjadi area pertama dan bagian terpenting dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Selain keluarga, lingkungan juga memberikan pengaruh besar dalam membantu anak menemukan jati dirinya.

Salah satu lingkungan yang dekat dengan anak adalah sekolah. Tidak hanya sebagai tempat menimba ilmu dan pengetahuan, sekolah juga dapat berperan sebagai mediator bagi anak untuk menemukan dan mengembangkan potensi serta bakat yang dimiliki.

Dalam hal ini para tenaga pendidik memiliki tugas besar yang harus diemban guna mempersiapkan peserta didik untuk semakin cerdas dan berkualitas. Para tenaga pendidik inilah yang nantinya akan menjadi ujung tombak majunya pendidikan bangsa. Pendidikan yang berkarakter, kepribadian yang berintegritas, dan nilai moral yang dijunjung tinggi merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan karakter suatu bangsa.

Penanaman budi perkerti kepada anak melalui berbagai metode dan media terkadang kurang efektif. Hal terbaik yang seringkali terlupakan adalah menjadi figur. Anak belajar dari apa yang mereka lihat dan dengar. Oleh karena itu, anak harus didampingi dan diberikan figur yang tepat. Guru dan orang tua sebagai figur terdekat bagi anak, memiliki tugas yang harus diemban untuk layak dijadikan sebagai teladan.

Nilai-nilai moral dan etika dapat dengan mudah dikerjakan oleh anak jika mereka mendapatkan figur atau teladan yang baik. Bahkan, tanpa banyak diberi ceramah tentang cara bersikap yang baik, juga nasihat untuk selalu berbuat baik, jika orang tua memiliki gaya hidup baik, maka anak akan meneladani sikap, tutur kata, dan perbuatan orang tua.

Budi pekerti luhur senantiasa dijunjung tinggi dalam falsafah hidup bangsa, namun demikian kemrosotan moral semakin gencar merintangi kehidupan berbangsa. Berbagai masalah timbul akibat kurangnya kesadaran akan hak asasi manusia yang harus dihormati. Perilaku yang bersifat materialis, hedonis, dan egois, seringkali memicu perselisihan di kehidupan bermasyarakat.

Terlalu banyak menuntut dan menghakimi orang lain, tanpa bercermin dengan keadaan diri sendiri. Tidak lagi tunduk kepada otoritas, namun senang membangkang dengan berbagai alasan. Hal-hal semacam itulah yang menghambat pembentukan karakter manusia.

Para pendidik perlu memahami betul tentang upaya penguatan pendidikan karakter yang digalakkan oleh pemerintah, agar dilaksanakan di seluruh satuan pendidikan, baik dasar, menengah, maupun tingkat lanjut. Untuk mengajarkan dan membangun karakter kuat di dalam diri anak, terlebih dahulu para pendidik membenahi diri.

Segala bentuk kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan, sebaiknya disadari sejak awal dengan hati yang terbuka. Tidak selalu membenarkan diri, merasa diri sudah baik, sehingga memiliki pola pikir bahwa tidak ada lagi yang perlu diubah. Namun sebaliknya, merasa diri masih terbatas dan perlu mendapatkan asupan ilmu yang baru, pengetahuan yang menambah wawasan, serta ragam pengalaman baru, sebagai bentuk kegigihan seorang pembelajar sepanjang hayat.

Kadangkala, mendidik anak dengan berbagai karakteristik, watak, dan kepribadian memang tidak mudah. Perlu waktu untuk beradaptasi, butuh jeda untuk menyelami dan menelusuri keadaan anak, serta ketelitian dalam menganalisis kebutuhan anak. Hingga pada akhirnya menentukan tindakan yang tepat untuk diberlakukan kepada anak didik yang ditangani.

Mendidik anak harus dengan hati yang ikhlas dan penuh kasih sayang. Hal ini perlu didasari dengan keadaan mental yang sudah terbentuk. Oleh karena itu, perlu dipelajari tentang beberapa kondisi mental yang diperlukan untuk menjadi seorang pendidik yang berkarakter kuat.

Pertama adalah mental peredam. Seorang pendidik yang memiliki mental peredam tidak akan mudah tersulut oleh api “katanya”. Seorang bermental peredam akan dengan tenang menghadapi permasalahan. Jika karakter ini diperhadapkan dengan kondisi anak yang menyebalkan, suka membuat onar, tidak bisa diberi nasihat, bahkan cenderung menantang guru, maka guru yang bermental peredam akan mampu meredam amarahnya sendiri terlebih dahulu, sebelum meredam amarah anak didiknya yang berbuat nakal kepada teman-temannya. Mental ini sangat bermanfaat untuk melatih kesabaran para pendidik, khususnya yang mengalami masalah di luar urusan pekerjaannya.

Guru bermental peredam, biasanya berwatak sabar dan tidak cepat marah dalam menyelesaikan masalah. Ia akan menjadi mediator yang baik untuk membantu menemukan solusi terbaik dari kendala yang dihadapi. Ia tidak akan memperkeruh keadaan, ataupun menjadikan sebuah permasalahan yang kecil dan sepele menjadi suatu dentuman dahsyat.

Kedua adalah mental pengayom. Seorang pendidik yang memiliki mental pengayom tidak akan mudah menyalahkan, menekan, dan menghakimi orang lain atas dasar yang belum tentu kebenarannya. Seorang pengayom justru akan melindungi pihak-pihak yang sedang mengalami permasalahan, supaya tidak merambah menjadi sesuatu yang besar.

Guru yang berkarakter pengayom lebih bersifat fleksibel dan memberikan kenyamanan serta keamanan bagi orang-orang yang ada disekitarnya. Dalam hal ini, siswa sebagai objek bagi pengayoman guru selama berada di lingkungan sekolah pada jam belajar efektif. Guru yang mengayomi anak didiknya tidak akan mudah mengucapkan kata-kata yang dapat memojokkan atau menyinggung perasaan anak didiknya.

Sebaliknya, guru pengayom akan melindungi perasaan anak didiknya dengan baik. sekalipun menegur, guru akan mencari cara dan waktu yang tepat agar anak yang melakukan kesalahan dapat menyadari kesalahannya dan menerima nasihat dengan lapang dada.

Ketiga adalah mental pemimpin. Seorang pendidik yang memiliki mental pemimpin tidak akan mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang sumbernya tidak jelas. Mental tipe ini sangatlah selektif, waspada, dan bijaksana. Pendidik yang memiliki mental seorang pemimpin akan cenderung tegas dan berwibawa, berintegritas dan bertanggungjawab, serta memiliki etos kerja yang tinggi.

Guru berkarakter seorang pemimpin sudah tentu dapat diandalkan oleh rekan-rekan sekerja maupun anak didik yang dibimbingnya. Seseorang yang memiliki mental seorang pemimpin akan mengucapkan dan melakukan sesuatu dengan penuh pertimbangan. Segala konsekuensi yang nantinya harus dihadapi dari keputusan yang telah diambil, akan dapat diatasi dengan baik pula. Guru tipe pemimpin ini suka memprovokasi hal-hal baik yang sekiranya sudah terbukti hasilnya.

Sebetulnya, di dalam dunia pendidikan diperlukan sebuah pembaharuan akan revolusi mental. Sebuah gebrakan baru yang dapat menyulut semangat dan kegigihan para pendidik bangsa untuk tidak terlena dengan hal-hal yang sekiranya tidak mendukung dalam karier sebagai seorang guru.

Tugas-tugas yang menumpuk, administrasi yang harus diselesaikan, kompetisi-kompetisi yang perlu diperjuangkan, serta perkembangan belajar anak didik yang harus dipertanggungjawabkan, kadangkala membuat mental para guru menjadi lemah dan hanya pasrah dengan keadaan. Paradigma bahwa beban yang harus ditanggung oleh guru semakin banyak, sedangkan waktu yang dimiliki sangat terbatas, membuat para guru semakin “loyo” untuk melakukan gebrakan baru atau kreativitas dalam pembelajaran. Seakan tidak ada gairah yang muncul ketika berhadapan dengan para murid.

Oleh karena itu, kebangkitan kembali revolusi mental harus diberlakukan secara serentak dan konsisten. Sehingga, mental para pendidik bangsa tidak akan menciut karena banyaknya tugas yang diemban, namun justru semakin mencuat di tengah dinamika perkembangan zaman yang fluktuatif dan tentatif ini. Pembaharuan revolusi mental bukan hanya menjadi sebuah wacana semata, melainkan dapat terlaksana secara nyata. Sebab integritas seseorang tidak dinilai dari banyaknya perkataan, melainkan proses yang menunjukkan hasil di masa mendatang.

Bekerja tanpa banyak kata, berkarya dengan bukti nyata.