Kerugian keuangan negara merupakan isu krusial dalam tata kelola pemerintahan yang baik, terutama di Indonesia, di mana kasus korupsi dan penyimpangan anggaran masih sering terjadi. Kerugian ini tidak hanya berdampak pada defisit anggaran, tetapi juga menghambat pembangunan nasional dan mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Sebagai contoh, kasus korupsi proyek pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang telah dianggap menimbulkan kerugian Rp.130 miliar rupiah, padahal jumlah tersebut telah digunakan untuk pekerjaan perancangan/ perencanaan dan membangun pondasi masjid. Rencana Anggaran Biaya Pembangunan masjid pada awalnya adalah kurang lebih sebesar 1.2 triliun. Atas Pembangunan sampai dengan pondasi masjid tersebut telah dilakukan pemerikasaan oleh BPK maupun Inspektorat Daerah Provinsi Sumatera Selatan dengan melibatkan Politeknik Negeri Sriwijaya (POLSRI) dengan jumlah temuan sekitar 1 milyar dan atas temuan tersebut Kontraktor telah diminta untuk mengembalikannya ke kas Daerah.
Namun kemudian atas permasalahan tersebut pihak penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan menggunakan jasa Universitas Tadulako Palu Provinsi Sulawesi Tengah untuk melakukan perhitungan Kerugian Negara sehubungan dengan penyidikan atas dugaan terjadinya tindak pidana korupsi pada proyek Pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang. Hasil pemeriksaan Universitas Tadulako menyebutkan bahwa ditemukan kerugian negara sebesar 127 milyar, dengan menggunakan metode perhitungan total lost. Hal tersebut menjadi kontradiksi karena uang sebesar 127 milyar yang telah diterima Kontraktor dari Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya tersebut telah digunakan untuk pembayaran pajak-pajak kepada negara, pekerjaan perancangan/perencanaan dan membangun pondasi masjid dan bagian menara yang kedalamannya mencapai ±100 meter dibawah permukaan tanah yang seharusnya hanya dapat dihitung dengan melibatkan ahli pekerjaan bawah tanah. Atas permasalahan tersebut majelis hakim kemudian memutuskan besarnya kerugian negara adalah Rp. 64 Milyar, (tidak jelas apa dasar hakim memutuskan besarnya jumlah kerugian negara), hal ini dikarenakan Majelis Hakim telah mengurangkan seluruh jumlah uang yang telah diterima oleh Kontraktor dengan sisa tagihan termijn yang belum dibayarkan dan pembayaran kompensasi kerohiman.
Di Indonesia, kerugian keuangan negara diatur secara komprehensif dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menggariskan bahwa keuangan negara harus dikelola secara transparan dan akuntabel untuk mencegah kerugian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mendefinisikan kerugian negara sebagai kekurangan uang, surat berharga, atau barang yang nyata dan pasti akibat tindakan melawan hukum, baik disengaja maupun karena kelalaian. Selain itu, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan kewenangan kepada BPK untuk melakukan audit guna menentukan kerugian negara.
Relevansi topik ini semakin kuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menegaskan bahwa korupsi sering kali menjadi penyebab utama Kerugian Keuangan Negara. Demikian pula dalam konteks penegakan hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 memiliki relevansi yang kuat dalam pembahasan total loss dan actual loss, dimana putusan ini menegaskan pentingnya kejelasan dan keadilan dalam menghitung kerugian negara, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi. Putusan MK ini muncul sebagai respons atas ketidakjelasan dalam perhitungan kerugian negara yang sering kali menimbulkan perdebatan dalam proses hukum.
Selain itu SE MA Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016 tanggal 09 Desember 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Rumusan Hukum Kamar Pidana peraturan tersebut mengamanatkan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti BPKP/Inspektorat/SKPD tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan Keuangan Negara namun tidak berwenang atau mendeclare adanya kerugian keuangan negara. Dari peraturan tersebut dapat disimpulkan yang bisa mendeclare adanya kerugian negara hanya BPK. Demikian juga dengan SE MK nomor 25/PUU-XIV/2016, tanggal 09 September 2016 yang menyebutkan bahwa jumlah kerugian negara harus pasti.
Konsep Total loss dan Actual loss merupakan dua pendekatan kunci dalam menghitung adanya Kerugian Keuangan Negara. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam proses audit dan penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan penyimpangan anggaran atau korupsi. Total loss mengacu pada keseluruhan anggaran yang telah dikeluarkan tanpa memberikan manfaat apa pun bagi negara. Dalam konteks ini, total loss sering digunakan sebagai indikator awal dalam tahap penyelidikan untuk memperkirakan besarnya kerugian. Misalnya, jika sebuah proyek pembangunan gagal total atau tidak menghasilkan manfaat apa pun (tanpa memperhatikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum), maka seluruh anggaran proyek tersebut dianggap sebagai total loss.
Di sisi lain, Actual loss adalah kerugian riil yang dapat diverifikasi melalui proses audit yang mendalam. Actual loss mencerminkan jumlah pasti dari kerugian yang dialami negara setelah memperhitungkan manfaat parsial atau aset sisa yang masih dapat dipulihkan. Misalnya, dalam proyek yang sama, jika sebagian material atau fasilitas masih dapat dimanfaatkan, maka nilai manfaat tersebut akan dikurangkan dari total loss untuk menentukan actual loss.
Sebagai ilustrasi, dalam kasus proyek pembangunan jalan yang gagal total akibat kesalahan konstruksi, maka nilai Total loss adalah keseluruhan anggaran proyek tersebut. Misalnya, jika anggaran proyek adalah Rp100 miliar, maka Total loss dihitung sebesar Rp100 miliar. Namun, jika beberapa bagian dari proyek masih bisa digunakan, seperti material atau sebagian struktur bangunan, maka Actual loss akan dikurangi dengan nilai manfaat yang tersisa. Misalnya, jika material yang masih bisa dimanfaatkan bernilai Rp 20 miliar, maka Actual loss dihitung adalah sebesar Rp 80 miliar (Rp 100 miliar – Rp 20 miliar). Dengan demikian, Actual loss memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai Kerugian Negara yang benar-benar terjadi setelah memperhitungkan manfaat yang masih dapat digunakan.
Perbedaan ini sangat penting dalam proses hukum, terutama dalam menentukan tingkat pertanggungjawaban hukum bagi pihak yang terlibat. Oleh karena itu, penggunaan metode perhitungan yang tepat sangat diperlukan agar proses audit dan investigasi dapat menghasilkan putusan yang adil dan akurat.
Dalam konteks hukum di Indonesia, perhitungan kerugian keuangan negara diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara transparan dan akuntabel untuk mencegah kerugian. Pasal ini menjadi landasan hukum bagi auditor dalam mengidentifikasi dan menghitung kerugian. Selain itu, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan kewenangan kepada BPK untuk melakukan audit guna menentukan kerugian negara. BPK menggunakan standar audit yang ketat untuk membedakan antara total loss dan actual loss.
Dalam konteks menghitung Kerugian Keuangan Negara, terdapat dua teori utama yang sering digunakan yaitu Teori Probabilistik Kerugian (Stochastics Simulation of Property Losses) dan Teori Kausalitas (Causal Link). Teori Probabilistik Kerugian, yang dijelaskan oleh Werde Aktuar (2023) dalam bukunya Stochastics Simulation of Property Losses, menyatakan bahwa total loss sering dihitung berdasarkan distribusi probabilitas dari jumlah kerugian yang diharapkan (expected total losses). Teori ini menggunakan pendekatan statistik untuk memprediksi kerugian finansial, terutama dalam situasi di mana semua aset dianggap hilang tanpa manfaat. Misalnya, dalam proyek yang gagal total, seluruh anggaran proyek dianggap sebagai total loss karena tidak ada manfaat yang diperoleh. Pendekatan ini banyak digunakan dalam bidang manajemen risiko dan asuransi untuk memperkirakan kerugian absolut.
Sementara itu, Teori Kausalitas, yang dirujuk dari panduan United States Sentencing Commission (2024), menekankan bahwa actual loss harus memiliki hubungan langsung dengan tindakan pelaku. Artinya, hanya kerugian yang benar-benar disebabkan oleh tindakan tersebut yang dapat diakui. Teori ini sering diterapkan dalam hukum dan audit forensik untuk memastikan bahwa perhitungan kerugian didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, jika sebagian proyek masih dapat dimanfaatkan, maka actual loss dihitung dengan mengurangi total loss dengan nilai manfaat sisa. Prinsip reasonable certainty (kepastian yang wajar) menjadi kunci dalam teori ini untuk memastikan keakuratan perhitungan kerugian.
Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 memberikan arah baru dalam perhitungan kerugian negara, terutama dalam kasus korupsi. Putusan ini menegaskan bahwa kerugian negara harus dihitung berdasarkan bukti konkret yang dapat diverifikasi. Hal ini memiliki dampak besar terhadap praktik penyidikan dan penuntutan kasus korupsi di Indonesia, di mana sebelumnya sering terjadi perbedaan interpretasi dalam menentukan kerugian negara.
Putusan tersebut, MK menyebutkan: “Perhitungan kerugian negara tidak boleh didasarkan pada asumsi atau perkiraan semata, melainkan harus memiliki dasar yang kuat sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan kepastian hukum.” Dengan adanya putusan ini, penggunaan Actual loss lebih diutamakan dalam penuntutan kasus korupsi untuk memastikan keadilan bagi terdakwa dan kepastian hukum bagi negara.
Selain itu, putusan ini mendorong peran auditor forensik dan BPK dalam menyediakan metode perhitungan yang lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Hal ini semakin menguatkan transparansi dalam sistem hukum Indonesia.
Di berbagai negara, konsep total loss dan actual loss memiliki penerapan yang berbeda sesuai dengan sistem hukum dan mekanisme akuntabilitas masing-masing. Di Amerika Serikat, actual loss digunakan untuk menghitung jumlah kerugian riil akibat tindakan kriminal atau pelanggaran kontrak. Pengadilan memerlukan bukti hubungan kausal antara tindakan pelaku dan jumlah kerugian yang terjadi (reasonably foreseeable loss). Sementara itu, total loss lebih sering digunakan dalam konteks asuransi atau kasus bencana di mana seluruh aset dinyatakan hilang tanpa manfaat.
Australia menerapkan pendekatan preventif dalam pengelolaan keuangan negara melalui Public Governance, Performance and Accountability Act 2013. Sistem ini berfokus pada pencegahan total loss dengan mekanisme pengawasan ketat sebelum dana dicairkan. Actual loss dihitung dengan audit yang dilakukan oleh Australian National Audit Office (ANAO), yang bertanggung jawab untuk memastikan setiap pengeluaran negara memiliki manfaat yang nyata.
Singapura mengadopsi sistem pengelolaan keuangan berbasis kinerja (performance-based budgeting) guna mencegah terjadinya total loss. Jika terjadi actual loss, Auditor-General’s Office (AGO) segera melakukan investigasi dengan pendekatan pemulihan aset sebagai prioritas utama. Negara ini memiliki sistem hukum yang lebih cepat dalam menangani pelanggaran administrasi dan korupsi, sehingga proses pemulihan kerugian keuangan negara dapat berjalan lebih efisien.
Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan, semua negara yang disebutkan memiliki kesamaan dalam menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang kuat dalam pengelolaan keuangan negara. Perkembangan teknologi informasi juga memainkan peran penting dalam pencegahan dan deteksi kerugian keuangan negara di banyak negara.
Perbedaan antara total loss dan actual loss sangat penting dalam perhitungan Kerugian Keuangan Negara karena keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda. Total loss mencerminkan kegagalan absolut tanpa manfaat apa pun bagi negara, sementara actual loss mencerminkan kerugian riil yang dapat diverifikasi berdasarkan bukti konkret. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk menangani kedua jenis kerugian ini secara adil dan transparan.
Dengan memahami kedua konsep ini, diharapkan Kerugian Keuangan Negara dapat diminimalkan, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dapat ditingkatkan. Peran auditor, lembaga pemeriksa keuangan, dan penegak hukum sangat krusial dalam memastikan perhitungan yang objektif dan transparan, sehingga proses hukum dapat berjalan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum.