IDUL FITRI : HARI RAYA PERSAUDARAAN.

Jakarta, Nasionalnews – KH. As’ad Said Ali, Waka PBNU mengatakan beberapa tahun merayakan  Idul Fitri di tanah Arab, suasananya sungguh berbeda dengan di tanah air. Di negeri Arab, idul Adha dirayakan lebih meriah, sebaliknya Idul Fitri dirayakan sederhana saja.. Sedangkan kita merayakan Idul Fitri hingga  satu minggu dan diberbagai tempat diakhiri dengan festival atau keramaian.

“Selain ucapan “ Minal  Aidzin Wal Faidzin “ seperti  di Timur Tengah,
umumnya kita tambahkan kalimat  “:Mohon Maaf Lahir dan Batin “ suatu ungkapan khas Indonesia. Seminggu berkeliling bersilaturahim kepada yang lebih tua atau mereka yg dihormati. Hal itu berbeda di dunia Arab karena  saling kunjung yang relatif hanya dilakukan dilingkungan dikeluarga yg terbatas,” tuturnya, Kamis, 14/5/2021.

Ia melanjutkan, Idul Fitri atau lebaran adalah hari raya persaudaraan.  Istilah lain adalah “ Halal Bihalal”, kalimat Arab difrasakan dalam bahasa Indonesia.  Di tanah Arab kalimat itu tidak lazim terdengar, suatu yang khas Indonesia. Artinya kira kira, semuanya halal karena sudah melaksanakan ibadah puasa dan saling memaafkan satu sama lain.

Idul Fitri memang bernuansa agama, tetapi prakteknya telah membudaya. Non muslimpun larut ikut menikmati suasana lebaran , turut mengucapkan selamat lebaran dan mencicipi ketupat yang keluar setiap hari raya. Idul fitri mempunyai dua sisi, agama dan budaya. Dan muslimpun membalas ketika hari raya tetangganya yang berbeda agama dengab cara yang kurang lebih sama dan hal itu karena ikatan budaya persaudaraan.

Mungkin kita tidak menyadari bahwa negara dan bangsa. Indonesia terbentuk dari budaya persaudaraan. Silaturahmi berarti hubungan kasih sayang. Bayangkan multi suku,  multi  agama , multi bahasa, multi pulau yang berjauhan tapi menjadi suatu ikatan persaudaraan keluarga bangsa.

Suatu ikatan persaudaraan yang  bersifat spiritual  atau batin yang menembus sekat sekat perbedaan secara fisik dan multi dimensi. Namun persaudaraan itu terkadang terganggu sesaat ketika sedang timbul konflik kepentingan atau politik. Akan selesai kalau sudah mencapai mufakat, suatu kesadaran saling memerlukan satu sama lain.

Kita bisa membayangkan, seandainya pada 18 Agustus 1945 para pendiri bangsa gagal menyepakati sila kesatu Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa besar ini lahir karena jiwa persaudaraan yang kuat dan sudah menjadi kehendak Ilahi Rabbi.  Nilai dasar yang menjadi fondasinya adalah saling maaf dan memaafkan, tidak pandang strata sosial dan jabatannya.

“Lebaran mengandung suatu kekuatan sosial yang dahsyat dan hal itu ditunjukkan dengan waktu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus  1945 , suatu kebahagiaan bangsa, jatuh pada bulan Ramadhan,” pungkasnya. (Red)