Jakarta – Pada Agustus 2024, Iran terlibat langsung dalam konflik dengan Israel dengan meluncurkan rudal dari wilayah Iran ke Israel. Tindakan ini terjadi setelah serangan rudal oleh Hamas, sekutu Iran, pada Oktober 2023 yang mengakibatkan 1300 korban jiwa. Sebelumnya, meskipun selalu mendukung perjuangan Palestina, Iran tidak terlibat secara militer dalam perang Arab-Israel pada 1948, 1967, dan 1973.
Iran juga tidak terlibat dalam perundingan damai Palestina-Israel pada Camp David (1978), Perjanjian Oslo I (1993) di Amerika Serikat, dan Oslo II (1998) di Taba, Mesir. Perundingan ini diprakarsai oleh Amerika Serikat dengan melibatkan Israel, Mesir, Yordania, PLO, dan didukung oleh Arab Saudi serta negara-negara Arab moderat lainnya. Negara-negara Arab radikal seperti Syria, Libya, dan Aljazair tidak dilibatkan.
“Keterlibatan Iran saat ini didorong oleh alasan politik, strategi, dan ekonomi. Iran, yang bukan termasuk rumpun bangsa Arab, pada masa Shah Reza Pahlevi yang pro-AS, bersikap pasif dan menjalin hubungan baik dengan Israel. Namun, sejak Ayatollah Khomeini berkuasa pada 1979, Iran berusaha tampil sebagai kekuatan politik dan militer di Timur Tengah dan global melalui “kebijakan ekspor revolusi Syiah”. Negara-negara Arab menganggap Iran sebagai ancaman regional, dan Iran berusaha meningkatkan kemampuan nuklirnya sejak era Shah Reza Pahlevi,” ungkap mantan wakil kepala Badan Inteljen Negara, KH. As’ad Said Ali kepada awak media. Srlasa. 6/8/24.
Iran memanfaatkan peluang untuk berperan di Timur Tengah dengan mendekati Syria, yang merasa ditinggalkan oleh Arab Saudi dan Mesir dalam perundingan damai. Wilayah Syria di dataran tinggi Golan masih diduduki oleh Israel sejak perang 1967.
Menurutnya. Dalam konflik politik internal di Lebanon, Iran mendukung campur tangan Syria untuk mencegah Partai Phalangis yang berpihak ke Israel. Pada 1987, pasukan Garda Revolusi Iran (Pasdaran) melatih milisi Hizbullah Lebanon di Zabadani, Syria. Hizbullah kini menjadi kekuatan militer terbesar di Lebanon, melebihi kekuatan pasukan pemerintah, dan berfungsi sebagai penjaga perbatasan Lebanon Selatan dari ancaman Israel.
Selain Hizbullah, Iran juga mendukung Hamas di Gaza dan Houthi di Yaman. Meskipun Hamas mayoritas Ahlus Sunnah dan Houthi Syiah Zaidiyah, Iran yang mayoritas Syiah Imam 12 berhasil menjalin hubungan kuat dengan mereka, menjadikan Iran sebagai kekuatan regional yang mengendalikan Syria, Hizbullah, Hamas, dan Houthi.
Iran dan sekutunya telah mampu mengendalikan konflik militer dan menempatkan Israel dalam posisi tertekan baik secara politik maupun militer. Dukungan internasional untuk perjuangan rakyat Palestina meningkat, dan Israel tidak bisa meremehkan ancaman militer dari Iran.
Meskipun Israel mampu menewaskan Ismail Haniya, tokoh moderat Hamas, perjuangan Palestina tetap berlanjut. Negara-negara dunia tidak akan membiarkan pecahnya perang besar Arab-Israel karena akan mengancam industri minyak di Jazirah Arab dan Teluk Persia.
Indonesia memiliki peluang besar sebagai penengah dalam konflik ini. Beberapa ulama Yahudi mengakui bahwa negara Israel, yang didirikan pasca Perang Dunia II, bukan dimaksudkan untuk menampung seluruh warga Yahudi, tetapi sebagai simbol asal-usul mereka dari Yerusalem.
Dengan berbekal Pancasila, seperti yang dilakukan Bung Karno dalam memerdekakan bangsa Asia-Afrika, Indonesia di bawah pimpinan Presiden Jenderal TNI Prabowo Subianto berpotensi menjadi mediator dalam konflik ini. Pancasila semakin relevan dalam era globalisasi yang mendewakan kebebasan individual dan abai terhadap nilai agama. (Red 01)