Bekasi – Mengingat Warisan KH Wahab Hasbullah: Tokoh Penting Nahdlatul Ulama
Pada sore hari yang teduh, berdiri di samping foto Al Mukarrom KH Wahab Hasbullah (Allahu Yarham/AY), seorang tokoh penting dan pendiri Nahdlatul Ulama, Mantan Wakil Kepala BIN KH As’ad Said Ali mengungkapkan pandangannya tentang pemikiran beliau yang unik dan berpengaruh. KH Wahab Hasbullah dikenal dengan pola pikirnya yang mengombinasikan nilai-nilai transformatif, nasionalistik-religiustik, serta keterbukaan. Pemikiran beliau sejalan dengan ulama besar Turki, Sheikh Said Al-Nursi, yang mampu menerima unsur budaya modern tanpa mengabaikan budaya tradisional Turki.
Pada tahun 1914, KH Wahab menciptakan mars “Subbanul Waton” (Pemuda Bangsa) dan kemudian memperkenalkan konsep “Taswirul Afkar” atau diskursus pemikiran. Selanjutnya, pada tahun 1916-1917, beliau menyelenggarakan kursus kebangsaan “Nahdlatul Waton” (Kebangkitan Bangsa) dan dilanjutkan dengan pembentukan “Nahdlatul Tujjar” (Kebangkitan Pengusaha). KH Wahab juga terlibat dalam Kongres Umat Islam pada tahun 1921-1931 yang membahas tentang “Perlukah umat Islam mempertahankan sistem khilafah?” yang dimotori oleh Sarekat Islam.
KH Wahab bersama Kyai H Asnawi Kudus berpandangan bahwa sistem khilafah sulit diterapkan, dan pada tahun 1924 mereka memutuskan untuk keluar dari Forum Kongres Umat Islam. Wakil dari Muhammadiyah juga keluar dari Kongres Umat Islam pada tahun 1926. Akhirnya, hanya Sarekat Islam yang tetap aktif dan diskusi tentang Khilafah Islamiyah berhenti sejak tahun 1931.
“Kalau sekarang kita memiliki NKRI yang berdasarkan Pancasila—bukan negara berdasarkan agama dan bukan negara sekuler, tetapi negara bangsa yang menjunjung agama (nasionalis-religius)—kita tidak bisa melupakan jasa dan perjuangan Mbah Wahab (NU) dan para ulama Sarekat Islam, Muhammadiyah, serta tokoh-tokoh nasionalis seperti Bung Karno dan Bung Hatta (proklamator),” jelas KH As’ad Said Ali kepada awak media pada 1 Agustus 2024.
Beliau juga menyayangkan amandemen UUD pasca reformasi, khususnya Pasal 33 UUD 2002 yang dinilainya tidak mencerminkan substansi UUD 1945 asli. Pasal 33 UUD 2002 lebih mencerminkan nilai-nilai neo-liberalisme, yang menyebabkan Indonesia seperti layang-layang yang terombang-ambing oleh angin peradaban sekuler Barat. “Sayang sekali,” pungkasnya.