Jakarta – Pelarangan jilbab bagi petugas kesehatan di Rumah Sakit Medistra baru-baru ini menjadi sorotan publik, menyusul perdebatan serupa terkait kebijakan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tentang pelarangan jilbab bagi petugas paskibraka dalam rangka peringatan Hari Proklamasi.
Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), KH. As’ad Said Ali, mengingatkan pada peristiwa serupa di era Orde Baru, ketika Menteri Pendidikan Nasional, Dr. Daud Yusuf, melarang murid sekolah negeri memakai jilbab. Kebijakan itu memicu protes besar di masyarakat hingga akhirnya dibatalkan setelah masukan dari tokoh intelektual muslim, Dr. Amien Rais, yang menyatakan bahwa penggunaan jilbab bagi wanita yang sudah baligh adalah wajib, namun tidak seharusnya dipaksakan oleh orang tua atau negara.
“Dari dua kasus ini, tampak adanya perbedaan pandangan mengenai hubungan agama dan Pancasila, terutama ketika dihadapkan dengan kebebasan individu dan simbol-simbol keagamaan. As’ad Said Ali menyebutkan bahwa pandangan pejabat yang melarang jilbab ini cenderung mengacu pada liberalisme Barat, yang memisahkan agama dari negara, berbeda dengan ideologi Pancasila yang justru menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan,” katanya kepada awak media. 5/9/24.
Ideologi Pancasila dengan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” menekankan pentingnya agama dalam kehidupan bernegara. Alfred Stepan, seorang penulis asal Amerika Serikat, mengemukakan konsep “Twin Toleration” atau toleransi kembar, di mana negara dan agama saling mendukung. Pandangan ini sejalan dengan ulama Indonesia yang sejak zaman BPUPKI menerima Pancasila sebagai landasan negara karena selaras dengan pemikiran ulama klasik yang melihat agama dan negara sebagai entitas yang bekerja bersama membangun peradaban.
“Oleh karena itu, penting bagi seluruh komponen bangsa untuk menjaga keseimbangan antara agama dan negara dalam konteks Pancasila, agar tidak terjadi konflik yang bisa memecah persatuan bangsa,” pungkasnya. (Red 01)