Jakarta, Nasionalnews.co.id – Latihan militer bersama AS – Indonesia di pusat latihan militer di Sumatera Selatan beberapa hari lalu mengundang kritik bernada keras dari sejumlah pihak.
Saya bisa memahami kritik keras semacam itu yang muncul dari jiwa patriotisme dari suatu bangsa yang memperoleh kemerdekaan melalui revolusi fisik dan bukan hadiah dari kolonial.
Di Asia Tenggara, Vietnam mempunyai pengalaman revolusi fisik seperti Indonesia, merebut kemerdekaan dari kolonial Perancis dan mengusir Amerika Serikat dari Vietnam Selatan.
Pada tahun 1979, Vietnam secara tidak gentar menolak klaim RRC atas wilayah sengketa perbatasan dan serbuan militer RRC berhasil dipukul mundur dengan persenjataan yang lebih modern berkat bantuan dari Uni Soviet.
Namun menurut pendapat saya, reaksi bernada keras itu berlebihan kalau dikaitkan dengan potensi konflik di Laut Cina Selatan. Indonesia, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei punya kepentingan bersama menjaga wilayahnya dari ancaman luar negeri cq RRC. Justru latihan perang bersama itu untuk memperkuat “leverage” kita dalam berhadapan dengan RRC di meja diplomasi.
“Latihan militer bersama juga tidak bisa dianggap melanggar prinsip non blok, kecuali misalnya kita mengizinkan pangkalan asing,”ujar As’ad Said Ali Mantan Waka BIN.Minggu,(8/10/21).dalam keterangan tertulis di terima, Redaksi,Nasionalnews.co.id
Lebih lanjut di tegaskan, Pria asal kudus yang berpengalaman di dunia intelijen Sikap bernada keras terhadap latihan bersama Ind – AS, sama halnya dengan sikap sejumlah pihak yang berlebihan dalam menyikapi masuknya tenaga kerja Cina , khawatir akan diikuti dengan masuknya illegal imigran Cina.
Pada hal kedatangan tenaga kerja Cina tersebut sebagai konsekwensi masuknya modal dan teknologi RRC ke Indonesia dalam rangka kerjasama kedua belah pihak.
Seorang ahli metalurgi mengatakan kepada saya, Indonesia dalam 3 sampai 5 tahun mendatang, akan menjadi salah satu negara produsen stainless Steel terbesar didunia berkat kerjasama tersebut.
“Indonesia mempunyai pengalaman sukses dalam mengatasi illegal imigran sekitar akhir tahun 60 – awal 70 an. Ceritanya hoakiau yang kembali ketanah leluhur sebagai dampak G -30- S / PKI , berusaha kembali ke Indonesia karena kehidupan di Cina daratan sangat sulit pada masa revolusi kebudayaan. Dan atas dasar pengalaman itu, kita tidak perlu khawatir berlebihan, tetapi juga tetap waspada, sehingga kritik yang terkait imigran gelap bukan suatu hal yang negatip sepanjang disampaikan secara wajar,”ucap As’ad.
Perlu digaris bawahi bahwa jiwa patriotisme merupakan inner energy ( tenaga dalam ) yang sangat vital bagi bangsa Indonesia. Persoalannya dalam era globalisasi ini dimana persaingan antar bangsa semakin keras, bagaimana melakukan aktualisasi patriotisme itu menjadi kekuatan nasional yang nyata.
“Jiwa patriotisme mestinya disalurkan secara rasional menjadi penggerak kemajuan bangsa, materiil maupun spiritual. Sebaliknya jangan disalurkan secara emosional karena akan kontra produktif bagi bangsa kita,”tutup As’ad yang juga Mantan Wakil Ketua PBNU.
(Red/03)