Opini  

PENGUATAN INTEGRITAS PIMPINAN DAERAH MELALUI REFORMASI ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Prof. Dr. Dadang Suwanda., SE., MM., M.Ak., Ak., CA
Guru Besar Manajemen Pemerintahan IPDN.
Praktisi Keuangan Daerah & Negara

A. Pendahuluan

Integritas pimpinan daerah adalah fondasi utama untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan berorientasi pada kesejahteraan publik. Max Weber, dalam Economy and Society (1922), menegaskan bahwa integritas pemimpin publik adalah prasyarat untuk administrasi yang rasional, efisien, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.

Namun dalam praktiknya, tantangan terhadap integritas kepala daerah di Indonesia sangat kompleks. Tidak hanya mencakup pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran etika publik dan kegagalan dalam pembuatan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Kompleksitas ini meliputi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), rendahnya pemahaman terhadap regulasi administrasi, pelanggaran etika jabatan, serta kebijakan-kebijakan yang tidak mencerminkan prinsip keadilan dan kepentingan publik.

Kasus hukum yang melibatkan pimpinan daerah mencakup berbagai pelanggaran, mulai dari penyalahgunaan keuangan hingga ketidakpatuhan administratif. Salah satu contoh adalah kasus Bupati Indramayu, Lucky Hakim, pada 2025, yang melakukan perjalanan pribadi ke Jepang tanpa izin Menteri Dalam Negeri, melanggar Pasal 76 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kasus ini mencerminkan lemahnya pemahaman terhadap kewajiban administratif dan kurangnya sensitivitas terhadap etika jabatan publik.

Contoh lain adalah Gubernur Papua Lukas Enembe (2022), yang terjerat kasus suap dan gratifikasi senilai ratusan miliar rupiah, hal tersebut menunjukkan lemahnya akuntabilitas kepemimpinan. Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi (2022) juga tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK karena penyalahgunaan jabatan dalam mutasi pegawai dan pengadaan proyek.

Pelanggaran etika juga marak, seperti dalam kasus Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo (2022) yang terlibat jual beli jabatan, mencerminkan degradasi moral di lingkungan pemerintahan daerah.

Di bidang kebijakan publik, beberapa kepala daerah dikritik karena membuat keputusan yang tidak efektif dan tidak berpihak kepada rakyat. Misalnya, pembangunan proyek-proyek mercusuar di Jawa Barat dan Sumatera Selatan yang menyedot APBD tanpa manfaat nyata bagi masyarakat, mencerminkan kegagalan dalam prinsip kehati-hatian dan keadilan sosial dalam pembuatan kebijakan.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa sejak 2004 hingga 3 Januari 2022, terjadi 22 kasus korupsi yang melibatkan gubernur dan 148 kasus yang melibatkan bupati/wali kota. Jika memperhitungkan data dari Kejaksaan dan Kepolisian, jumlahnya akan lebih besar lagi. Indonesia Corruption Watch (ICW) juga melaporkan bahwa antara 2010 hingga Juni 2018, terdapat 253 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Laporan Ombudsman RI memperkuat hal ini dengan mencatat peningkatan aduan masyarakat terhadap maladministrasi, penyimpangan prosedur, dan kebijakan tidak transparan di tingkat daerah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya membangun integritas kepala daerah harus meliputi dimensi hukum, etika, dan kebijakan secara bersamaan. Tanpa pemahaman dan penguatan ketiga aspek tersebut, reformasi pemerintahan daerah akan sulit menghasilkan perubahan yang substantif. Karena itulah dibutuhkan reformasi administrasi sebagai fondasi integritas yang meliputi :

B. Peningkatan Kapasitas dan Pemahaman Regulasi

Reformasi administrasi merupakan langkah strategis untuk memperkuat integritas pimpinan daerah dalam menghadapi tantangan hukum, etika, dan kebijakan publik. Dwight Waldo, dalam karyanya The Enterprise of Public Administration (1980), menegaskan bahwa reformasi administrasi tidak sekadar soal prosedur birokrasi, melainkan tentang peningkatan kapasitas institusi dan individu untuk menciptakan pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan berorientasi etis.

Salah satu fokus utama dalam reformasi ini adalah peningkatan pemahaman kepala daerah terhadap regulasi pemerintahan, terutama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentan8g Pemerintahan Daerah. Peraturan ini mengatur secara rinci tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepala daerah, termasuk prinsip-prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Namun, banyak kasus menunjukkan bahwa pemimpin daerah kurang memahami secara komprehensif regulasi ini. Misalnya, kasus Lucky Hakim, Bupati Indramayu tahun 2025, yang melakukan perjalanan dinas ke luar negeri tanpa izin, mencerminkan lemahnya pemahaman terhadap mekanisme perizinan dalam konteks kewenangan administratif.

Oleh karena itu, pelatihan berkelanjutan bagi kepala daerah dan aparatur sipil negara (ASN) menjadi kebutuhan mendesak. Pelatihan ini harus dirancang secara komprehensif, mencakup:

1. Aspek hukum dan perundang-undangan, termasuk UU Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun 2014), UU Pelayanan Publik (UU No. 25 Tahun 2009), serta ketentuan teknis pengelolaan keuangan daerah (PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah).

2. Etika publik, dengan menekankan prinsip moralitas jabatan sebagaimana disarankan dalam A Theory of Justice (1971) oleh John Rawls, yang menekankan bahwa kebijakan publik harus mengutamakan prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan kelompok rentan.

3. Pengambilan keputusan berbasis bukti dan kepentingan umum, agar kepala daerah mampu membuat kebijakan yang legitimate dan berdaya guna.

Dalam metode pelatihan, pendekatan berbasis studi kasus harus digunakan. Misalnya, skenario pelanggaran administratif oleh Lucky Hakim atau kasus mutasi jabatan yang melibatkan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dapat dijadikan simulasi pembelajaran tentang konsekuensi hukum dan etika.

Lebih jauh lagi, pengalaman internasional menunjukkan keberhasilan reformasi melalui pendidikan dan pengawasan. Singapura, misalnya, sukses membangun budaya birokrasi bersih melalui kombinasi antara pendidikan hukum publik sejak dini, pelatihan intensif bagi pejabat publik, dan sistem pengawasan ketat oleh lembaga seperti Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Menurut laporan Transparency International (2023), Singapura konsisten menjadi salah satu negara dengan indeks persepsi korupsi terendah di dunia (peringkat ke-5 dengan skor 83/100).

Dalam konteks Indonesia, program Monitoring Center for Prevention (MCP) yang dikembangkan KPK menjadi salah satu instrumen penguatan kapasitas daerah. Namun, Data KPK tahun 2023 menunjukkan tingkat rata-rata nasional capaian MCP baru sekitar 67%, menandakan masih perlunya peningkatan pelatihan dan kesadaran hukum di tingkat daerah.

Dengan demikian, peningkatan kapasitas dan pemahaman regulasi bukan hanya soal kepatuhan administratif, tetapi merupakan bagian integral dari upaya membangun kepemimpinan daerah yang berintegritas, profesional, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

C. Penguatan Pengawasan Internal

Pengawasan internal melalui Inspektorat Daerah merupakan instrumen vital untuk mendeteksi dini potensi pelanggaran administrasi dan penyimpangan anggaran di tingkat pemerintahan daerah. Dwight Waldo dalam The Enterprise of Public Administration (1980) menegaskan bahwa pengawasan internal yang efektif merupakan elemen kunci dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan tata kelola pemerintahan yang akuntabel.

Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, Inspektorat perlu diperkuat dalam dua aspek utama yaitu kapasitas sumber daya manusia dan penggunaan teknologi berbasis data.

1. Inspektorat harus dilengkapi dengan auditor yang kompeten dan tersertifikasi, yang mampu melakukan audit berbasis risiko dan mampu menganalisis potensi korupsi secara proaktif.

2. Pemanfaatan sistem pelaporan keuangan berbasis digital sangat penting untuk meningkatkan transparansi dan akurasi data.

Salah satu contoh praktik baik adalah penggunaan e-Audit di Provinsi DKI Jakarta, yang memungkinkan pelacakan transaksi keuangan secara real-time, sehingga memperkecil peluang manipulasi dan mempercepat proses audit internal. Sistem ini tidak hanya mencatat transaksi keuangan, tetapi juga memfasilitasi analisis otomatis terhadap potensi ketidakwajaran dalam pengelolaan anggaran.

Namun demikian, penguatan kapasitas teknis saja tidak cukup. Independensi Inspektorat dari intervensi politik kepala daerah harus dijamin. Berdasarkan hasil kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2021, ditemukan bahwa sekitar 30% Inspektorat Daerah di Indonesia masih menghadapi tekanan politik yang menghambat fungsi pengawasannya. Tanpa independensi, Inspektorat berisiko menjadi alat legitimasi formal belaka dan gagal menjalankan fungsi korektifnya.

Kelemahan dalam pengawasan internal dapat dilihat pada beberapa kasus, seperti dalam kasus Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo (2022), di mana jual beli jabatan berlangsung secara sistematis tanpa deteksi dini dari Inspektorat. Ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal di daerah yang rawan intervensi politik dan minim transparansi.

Selain itu, laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2022 menyoroti bahwa sebagian besar tindak pidana korupsi di tingkat daerah bermula dari lemahnya sistem pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap standar prosedur operasional.
Maka, upaya penguatan pengawasan internal harus mencakup:

1. Peningkatan Kompetensi Auditor melalui Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan
Kompetensi auditor daerah merupakan kunci efektivitas pengawasan. Menurut International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), pengawasan yang efektif bergantung pada auditor yang memiliki integritas, keterampilan analitis, dan pemahaman hukum yang kuat. Oleh karena itu, program pelatihan berkelanjutan perlu difokuskan pada:

a. Pemahaman regulasi keuangan daerah (Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah),

b. Audit berbasis risiko,

c. Forensik audit untuk mendeteksi indikasi fraud,

d. Etika pemeriksaan. Misalnya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan BPKP mengadakan Capacity Building for Auditor secara rutin untuk meningkatkan profesionalisme inspektoratnya.

2. Penerapan Sistem Digital untuk Monitoring dan Evaluasi Berbasis Data Digitalisasi pengawasan menjadi kebutuhan mendesak. Implementasi e-Audit, e-Monitoring, dan e-Planning memungkinkan pelacakan proyek dan keuangan secara real-time, memperkecil ruang manipulasi.
Studi kasus di DKI Jakarta menunjukkan bahwa penggunaan e-Budgeting berhasil mengurangi inefisiensi belanja daerah hingga 15% (Badan Pengelola Keuangan Daerah DKI Jakarta, 2021). Penguatan ini dapat diperluas dengan:

a. Penerapan dashboard pengawasan berbasis data terbuka,

b. Integrasi data keuangan dengan sistem nasional seperti SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara),

c. Penggunaan analitik prediktif untuk mendeteksi pola anomali.

3. Penguatan Independensi Kelembagaan Inspektorat
Salah satu masalah utama adalah potensi intervensi politik terhadap Inspektorat. Saat ini, Inspektur Daerah masih diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah, sehingga rawan konflik kepentingan. Untuk memperkuat independensi:

a. Mekanisme pengangkatan Inspektur perlu direvisi dengan melibatkan Komisi ASN atau rekomendasi independen dari BPKP,

b. Penugasan Inspektur bersifat tetap selama masa jabatan tertentu dan hanya dapat diberhentikan melalui mekanisme evaluasi objektif,

c. Diperkuat landasan hukumnya melalui revisi UU No. 23 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Dengan penguatan ini, Inspektorat dapat menjalankan fungsi audit dan evaluasi tanpa tekanan politik.

4. Kolaborasi Pengawasan dengan Lembaga Eksternal (BPKP, BPK, KPK)
Pengawasan internal yang efektif harus diimbangi dengan external audit untuk memperkuat prinsip checks and balances.

a. Inspektorat perlu rutin berkoordinasi dengan BPKP dalam melakukan evaluasi pengendalian internal (SPI),

b. Berkolaborasi dengan BPK dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) berbasis standar akuntansi pemerintah (SAP),

c. Bersinergi dengan KPK dalam program pencegahan korupsi, seperti Monitoring Center for Prevention (MCP). Misalnya, KPK melalui MCP pada tahun 2022 melaporkan bahwa daerah-daerah yang aktif berkolaborasi dengan KPK mengalami peningkatan skor MCP dan penurunan temuan korupsi administratif.

Kerjasama ini bukan saja memperkuat efektivitas, tetapi juga meningkatkan kredibilitas hasil pengawasan.

Dengan pengawasan internal yang profesional, independen, dan berbasis teknologi, integritas tata kelola pemerintahan daerah akan lebih terjamin dan potensi penyimpangan dapat ditekan secara signifikan.

D. Digitalisasi Administrasi

Digitalisasi administrasi, seperti implementasi e-government, merupakan solusi strategis untuk memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi birokrasi publik. Jane Fountain, dalam Building the Virtual State (2001), menegaskan bahwa penggunaan teknologi informasi mampu menghubungkan pemerintah dengan masyarakat secara lebih terbuka dan responsif, sehingga memperbesar ruang partisipasi publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Penerapan digitalisasi telah menunjukkan hasil positif di beberapa daerah. Misalnya, sistem e-budgeting di Kota Surabaya memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi tentang perencanaan dan realisasi APBD secara daring. Transparansi ini berdampak langsung pada penurunan praktik korupsi dalam pengadaan barang/jasa dan pengelolaan keuangan daerah. Menurut laporan Transparency International Indonesia (2022), daerah dengan sistem pengelolaan berbasis digital memiliki skor integritas yang lebih tinggi dibandingkan daerah dengan sistem manual.
Namun, implementasi digitalisasi administrasi masih menghadapi beberapa tantangan serius, antara lain:

1. Kesenjangan Infrastruktur Teknologi Daerah-daerah terpencil dan perbatasan sering kali belum memiliki akses internet yang memadai, sehingga memperlambat penerapan sistem digital. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 20% wilayah di Indonesia Timur masih tergolong sebagai “blank spot” internet.

2. Rendahnya Literasi Digital Aparatur Sipil Negara (ASN).
Banyak ASN yang belum terampil dalam menggunakan aplikasi administrasi modern, sehingga potensi optimalisasi teknologi menjadi terhambat. Untuk itu, perlu program literasi digital yang berkelanjutan, misalnya melalui pelatihan smart governance dan digital public service delivery.

3. Risiko Kebocoran Data dan Keamanan Informasi.
Semakin terbukanya data pemerintah menuntut perlindungan yang ketat terhadap informasi sensitif. UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi mewajibkan pemerintah daerah untuk membangun sistem keamanan data, termasuk pengelolaan data pribadi masyarakat yang digunakan dalam pelayanan publik.

Agar digitalisasi berjalan optimal, diperlukan beberapa langkah strategis:

1. Investasi Pemerintah Pusat dalam Infrastruktur Teknologi.
Program perluasan jaringan internet, pembangunan server lokal daerah, dan penyediaan perangkat lunak (software) harus diprioritaskan dalam RPJMN dan RKPD.

2. Penguatan Kapasitas ASN melalui Pelatihan Digital
Setiap daerah perlu menyusun roadmap pengembangan kompetensi ASN berbasis teknologi, bekerja sama dengan lembaga seperti LAN RI atau Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM).

3. Penerapan Standar Keamanan Data dan Audit Teknologi
Pemerintah daerah perlu mengadopsi standar keamanan siber nasional dan melakukan audit sistem teknologi secara berkala, bekerja sama dengan BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara).

Dengan pendekatan yang menyeluruh ini, digitalisasi administrasi tidak hanya menjadi simbol modernisasi, melainkan juga pilar nyata dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan inklusif.

E. Kebijakan Publik Berbasis Kepentingan Rakyat (Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan).

Integritas pimpinan daerah tidak hanya tercermin dalam perilaku personal, tetapi juga bagaimana kebijakan publik dirancang dan dijalankan. Sejalan dengan pandangan Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), kebijakan publik seharusnya berfungsi sebagai instrumen untuk memperluas kebebasan masyarakat, termasuk akses yang setara terhadap pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan ekonomi, dan infrastruktur dasar yang layak. Dengan kata lain, keberpihakan kebijakan terhadap kebutuhan riil masyarakat adalah bentuk konkret integritas kepemimpinan.

Salah satu strategi penting untuk memastikan keberpihakan ini adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam perencanaan pembangunan. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) merupakan mekanisme formal yang memberikan ruang bagi warga untuk menyampaikan aspirasi, memprioritaskan program, dan mengawasi implementasinya. Namun, efektivitas Musrenbang sangat bergantung pada sejauh mana proses tersebut benar-benar inklusif dan bebas dari dominasi elit lokal.

Jürgen Habermas, dalam Between Facts and Norms (1996), memperkenalkan konsep demokrasi deliberatif — suatu model demokrasi di mana kebijakan dibentuk melalui dialog rasional antarwarga. Pendekatan ini memastikan bahwa keputusan publik lahir dari pertukaran argumentasi yang terbuka, bukan sekadar berdasarkan suara mayoritas atau tekanan politik. Dalam konteks pemerintahan daerah, penerapan prinsip deliberatif ini dapat memperkaya kualitas perencanaan pembangunan.

Pengalaman Kabupaten Banyuwangi menjadi contoh keberhasilan integrasi prinsip-prinsip tersebut. Dengan mengembangkan Musrenbang berbasis digital, warga diberi akses untuk mengusulkan program pembangunan melalui aplikasi daring yang transparan dan akuntabel. Sistem ini bukan hanya mempercepat alur perencanaan, tetapi juga meminimalkan ruang bagi manipulasi usulan proyek oleh elit politik lokal.
Untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam perencanaan, beberapa langkah strategis perlu diambil:

1. Penguatan Literasi Perencanaan di Tingkat Basis
Pemerintah daerah perlu mengedukasi masyarakat tentang proses, hak, dan mekanisme pengajuan usulan pembangunan melalui program sosialisasi dan pelatihan.

2. Penerapan Teknologi Digital yang Inklusif
Penggunaan aplikasi daring untuk Musrenbang harus disertai upaya memperluas akses internet di desa dan memberikan pendampingan teknis bagi warga kurang familiar dengan teknologi.

3. Perlindungan terhadap Aspirasi Minoritas
Dalam setiap forum perencanaan, perlu ada mekanisme untuk memastikan kelompok rentan (perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat) mendapatkan ruang suara yang proporsional.

4. Pengawasan Partisipatif
Setelah perencanaan, masyarakat perlu dilibatkan pula dalam pengawasan realisasi program, misalnya melalui forum warga atau aplikasi public monitoring.

Dengan demikian, partisipasi masyarakat bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi fondasi utama dalam membangun pemerintahan daerah yang responsif, berintegritas, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

F. Kebijakan Berorientasi Jangka Panjang

Kepala daerah harus menghindari kebijakan populis yang hanya berfokus pada proyek-proyek mercusuar yang terkadang lebih berorientasi pada pencitraan daripada memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Kebijakan seperti ini sering kali berisiko menjadi beban jangka pendek tanpa keberlanjutan yang jelas. Sebaliknya, kebijakan yang efektif harus berfokus pada pembangunan berkelanjutan yang memberikan dampak jangka panjang, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.

Sebagai contoh, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk beasiswa pendidikan di Kalimantan Timur telah berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah di daerah-daerah terpencil. Program serupa di bidang kesehatan, seperti pembangunan dan renovasi puskesmas di Nusa Tenggara Timur, juga menunjukkan dampak positif yang signifikan terhadap akses layanan kesehatan bagi masyarakat di wilayah yang sebelumnya sulit dijangkau. Inisiatif-inisiatif ini tidak hanya memberikan manfaat langsung, tetapi juga menciptakan efek domino yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.

Amartya Sen (1999) dalam bukunya Development as Freedom menekankan bahwa investasi dalam kapabilitas manusia, seperti pendidikan dan kesehatan, adalah kunci untuk pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Menurutnya, pembangunan tidak hanya dilihat dari segi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari peningkatan kebebasan dan kesempatan bagi individu untuk mencapai potensi penuh mereka. Oleh karena itu, kepala daerah perlu merancang rencana pembangunan jangka panjang yang tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga kualitas hidup masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) harus disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan dasar masyarakat yang lebih luas, serta disertai dengan indikator kinerja yang jelas, terukur, dan berbasis hasil, agar dapat memantau kemajuan dan efektivitas kebijakan yang diterapkan.

Dalam konteks ini, penting untuk mengembangkan sistem perencanaan yang berfokus pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Pemerintah daerah juga perlu berkomitmen untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap program-program yang dijalankan, dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Kebijakan berorientasi jangka panjang ini akan memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak hanya bermanfaat saat ini, tetapi juga mampu memberikan fondasi yang kuat untuk generasi yang akan datang.

G. Tata Kelola yang Baik

Prinsip tata kelola yang baik (good governance) harus menjadi acuan utama dalam setiap pengambilan kebijakan, terutama dalam konteks pemerintahan daerah. World Bank, dalam Governance and Development (1992), menegaskan bahwa tata kelola yang baik, yang melibatkan elemen-elemen seperti akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi, merupakan fondasi yang sangat penting untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Tanpa penerapan prinsip-prinsip ini, pembangunan yang dilakukan dapat terhambat dan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Sebagai contoh konkret, Kota Bandung telah berhasil menerapkan sistem pelayanan publik berbasis aplikasi, seperti Lapor!, yang memungkinkan warga untuk melaporkan masalah infrastruktur secara langsung kepada pemerintah. Aplikasi ini tidak hanya meningkatkan akuntabilitas pemerintah, tetapi juga mempercepat proses penanganan masalah dan meningkatkan responsivitas pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat. Inovasi ini menunjukkan bagaimana teknologi dapat memperkuat prinsip transparansi dan partisipasi dalam tata kelola pemerintahan.

Namun, meskipun implementasi teknologi dan sistem pelayanan publik berbasis digital semakin berkembang, tantangan utama dalam menerapkan good governance masih tetap ada, terutama resistensi dari birokrasi yang masih cenderung kaku dan kurangnya koordinasi antarinstansi. Kondisi ini sering kali menyebabkan lambatnya pengambilan keputusan dan kurang optimalnya implementasi kebijakan. Untuk mengatasi masalah ini, kepala daerah perlu berperan aktif dalam membangun budaya organisasi yang berorientasi pada pelayanan publik. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan yang berkelanjutan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) mengenai pentingnya prinsip-prinsip good governance, serta memberikan insentif yang mendorong kinerja yang lebih baik.

Pembangunan budaya organisasi yang positif juga dapat dicapai dengan mendorong kerjasama antarinstansi yang lebih efektif, baik di tingkat pemerintahan daerah maupun antara pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam hal ini, pemimpin daerah harus menjadi contoh dalam menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, dengan memastikan bahwa seluruh proses pengambilan keputusan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, tata kelola yang baik akan tercapai, yang pada gilirannya akan menciptakan pemerintahan yang lebih responsif, efisien, dan berorientasi pada kepentingan publik.

H. Penutup

Penguatan integritas pimpinan daerah merupakan keharusan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan berwibawa. Hal ini menjadi landasan penting dalam menciptakan lingkungan pemerintahan yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Reformasi administrasi yang dicanangkan oleh pemikir seperti Dwight Waldo (1980) dan Jane Fountain (2001), yang berfokus pada peningkatan kapasitas, pengawasan internal yang ketat, serta penerapan digitalisasi dalam setiap lini pemerintahan, harus menjadi bagian integral dari kebijakan yang diterapkan di daerah. Reformasi ini tidak hanya penting untuk meningkatkan efisiensi birokrasi, tetapi juga untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum dan etika dalam pemerintahan.

Selain itu, kebijakan publik yang berorientasi pada kepentingan rakyat, sebagaimana ditegaskan oleh para filsuf seperti John Rawls (1971), Amartya Sen (1999), dan Jürgen Habermas (1996), memainkan peran krusial dalam memperkuat legitimasi kepemimpinan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kebijakan yang adil dan berpihak pada kebutuhan masyarakat akan menciptakan rasa memiliki dan partisipasi aktif dari warga negara dalam pembangunan daerah.

Kerja sama lintas pemangku kepentingan juga sangat penting dalam mewujudkan tujuan ini. Pemerintah pusat harus memberikan dukungan melalui regulasi yang jelas, alokasi pendanaan untuk digitalisasi, serta program pelatihan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi aparatur negara di daerah. Di sisi lain, masyarakat sipil, termasuk media dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), berperan sebagai pengawas independen yang dapat memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaan kebijakan publik.

Dengan komitmen bersama antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat sipil, kita dapat menciptakan pemerintahan daerah yang tidak hanya bebas dari korupsi, tetapi juga menjadi teladan dalam memberikan pelayanan publik yang bermartabat. Semua ini harus selaras dengan visi tata kelola yang baik, di mana prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi menjadi panduan dalam setiap kebijakan yang diambil. Mari kita wujudkan pemerintahan daerah yang mampu menjadi motor penggerak pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan, yang membawa kemajuan bagi seluruh masyarakat.