PERJALANAN DEMOKRASI KITA

JAKARTA, Nasionalnews.co.id – Menjelang peringatan proklamasi ke 76 dan dalam suasana prihatin pandemi, ada baiknya kita napak tilas perjuangan membangun sistem pemerintahan demokratis; sejauh mana capaiannya dan kendalanya. Suatu perjuangan yang panjang, seperti pengalaman Amerika Serikat yang pernah mengalami perang saudara dan pro kontra rasialisme. Perjuangan panjang  sejak 1776 itu mencapai kematangannya paska PD II.

Sedang Indonesia baru mulai belajar berdemokrasi sejak 1955. Realitas menunjukkan bahwa tidak selamanya nilai demokrasi Barat yang kelihatan ideal bisa diterima oleh masyarakat dengan baik.

Sebagai contoh dalam setiap pemilu atau pilkada politik uang cukup menonjol. Sedihnya,tradisi musyawarah dan mufakat cenderung melemah dan proses demokrasi dinodai oleh godaan uang. Tingkat kesejahteraan yang belum merata menjadi salah satu problem demokrasi.

“Ada faktor penting yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam memajukan demokrasi yakni eksistensi Ormas dalam proses demokratisasi. Berbeda dengan Barat yang hanya mengenal “ partai politik / orpol “sebagai penggerak demokrasi, peranan Ormas di Indonesia sangat menonjol terutama periode pra kemerdekaan. Ormaslah yang lahir terlebih dahulu misalnya Budi Utomo, Sarikat Islam, Muhammadiah, NU dll nya. Setelah  itu baru lahir partai partai politik,”pungkas As’ad Said Ali kepada,media Nasionalnews.co.id Jum’at (13/8/21).

Lebih lanjut di tegaskan,Periode 1955 sampai 1959,  sistem demokrasi liberal menjadi praksis demokrasi melalui pemilu bebas. Persertanya Parpol dan perorangan. Sejumlah parpol peserta pemilu merupakan Ormas yang melebur menjadi Parpol seperti Partai NU, Masyumi, PSII dan Partai Murba dll. Dalam periode ini muncul dua “ jebakan demokrasi”  yang hampir memecah belah bangsa yang baru lahir.Jebakan pertama : pro kontra terhadap dasar negara Pancasila. Jebakan kedua tentang makna kebebasan beragama , dimana kaum nasionalis sekuler memaknai kebebasan itu sama dg “ sekularisme”.  Percobaan demokrasi liberal gagal dan Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan membubarkan konstituante.

Dari 1959 – 1965 , Bung Karno mencoba mempraktekkan “demokrasi terpimpin “ sebagai ijtihad politik guna mencegah  gejala perpecahan tidak terulang lagi. Demokrasi terpimpin , pada satu sisi berhasil mengurangi perpecahan bangsa  dan bahkan memperkuat kesatuan teroterial antara lain Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan hampir semua pemberontakan dipadamkan.

Sayangnya menimbulkan pembatasan partisipasi politik dan sejumlah saingan politik yang ditangkap.

Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto berusaha memperhalus demokrasi sebelumnya dengan  apa yang dikenal dengan “ Demokrasi Pancasila”.  Pancasila menjadi rujukan dan dilaksanakan dalam  sistem politik “ stabil – dinamis “.

Stabilitas menjadi syarat berjalannya pembangunan dan dinamis dimaksudkan sebagai ruang demokrasi  meluas sejalan dengan capaian pembangunan nasional.

Konflik ideologis diredusir dengan penyederhanan sistem politik menjadi Golkar, PPP dan PNI. Dalam realitasnya, penyederhanaan sistem politik menimbulkan ekses negatip berupa tindakan repressip yang merupakan “jebakan politik” yang menyebabkan demokrasi tidak berkembang. Sukses pembangunan ekonomi tanpa diikuti pengembangan demokrasi menimbulkan jebakan demokrasi yang lain yaitu tumbulnya  Oligarki dan KKN ( korupsi, kolusi dan nepotisme ).

“Reformasi 1998 mencoba meletakkan pilar demokrasi baru yang sesuai arus globalisasi dan demokratisasi. Amandemen UUD dilakukan sehingga diatas kertas Indonesia merupakan negara yang sangat demokratis. Presiden Habibi, Presiden Abdurahman Wahid dan Presiden Megawati serta Pres Susilo Bambang Yudoyono dan terakhir Presiden Joko Widido masing masing berusaha meneruskan pembangunan  demokrasi. Dalam kaitan ini yang menonjol adalah reposisi TNI – Polri sesuai tuntutan reformasi,”papar As’ad mantan waka BIN.

Dalam  periode ini timbul “jebakan demokrasi”:berupa  meningkatnya organisasi dan ideologi transnasional yang mengembangkan faham yang bertolak belakang dengan Pancasila baik yang berorientasi  faham sekularisme Barat maupun yang beorientasi pada ekstremisme  Timur Tengah.

Kalau pemerintah sebelumnya membiarkan ormas militan yang meresahkan masyarakat, Presiden Joko Widodo mengambil tindakan hukum sesuai koridor demokrasi.

“Lahirnya KPK pada era Presiden Megawati menjadi harapan untuk menekan korupsi dan oligarkhi. Kita juga harus waspada jangan sampai Partokrasi dan Populisme menjadi jebakan demokrasi lainnya,”tegas As’ad yang juga mantan wakil ketua PBNU.

Jalan masih panjang dan berliku liku , yang penting tetap menggunakan “ nalar Demokrasi” dan konsisten berpegang teguh pada Pancasila dan pesan para pendiri bangsa. Insya Allah.

(Red/03)