Jakarta – Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah dilantik dan sah secara konstitusional untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Namun, beberapa kelompok masih mempertanyakan dan mendorong adanya pemberhentian terhadap Wakil Presiden Gibran. Hal ini memang tidak terlepas dari proses politik yang berujung pada lahirnya Putusan MK No. 90 Tahun 2024 tentang persyaratan umur Capres dan Cawapres yang melahirkan norma tambahan, bisa di bawah 40 tahun
Prof.Dr. John Pieris, SH.,M.S., seorang Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), menyampaikan bahwa pemberhentian presiden dan wakil presiden sudah diatur dengan sangat jelas dalam UUD 1945, khususnya dalam Pasal 7A dan Pasal 7B. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pemberhentian hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, atau tidak lagi memenuhi korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela manapun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wapres.
“Dalam Pasal 7B Ayat (1), jelas disebutkan bahwa usul pemberhentian presiden atau wakil presiden harus diajukan oleh DPR kepada MPR setelah terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa dan memutuskan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan berdasarkan Pasal 7A,” ujar Prof. John Pieris, 1/11/24.
Prof. John Pieris menambahkan bahwa dalam kasus Wakil Presiden Gibran, belum ada bukti pelanggaran konstitusi setelah yang bersangkutan baru saja dilantik menjadi wakil Presiden. Namun, ada pandangan bahwa Gibran mungkin melanggar ketentuan terkait Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Itupun juga sudah dianggap selesai.
Lebih lanjut, Prof. Pieris menyebutkan bahwa dalam dinamika politik, pemberhentian presiden dan wakil presiden dapat terjadi melalui proses politik, terutama jika terjadi situasi sosial dan politik yang memanas dan tidak terkendali seperti tahun 1965 dan 1998. Namun, ia menegaskan bahwa segala proses sebaiknya tetap dijalankan sesuai koridor konstitusi. Berikan dulu kesempatan agar Presiden dan wapres terpilih dan sudah dilantik serta mendapat legitimasi hukum itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan amanat konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. (Red01)