Ambarawa – Tapak Bedono, Kabupaten Semarang sebuah desa yang kaya akan sumber daya alam dengan hasil bumi yang melimpah, seperti petani buah Nangka, Durian, Kopi, Cengkeh, Pepaya, dan singkong sebagai pendapatan mayoritas penduduk setempat
Ditengah pemukiman penduduk yang mayoritas petani , ada disebuah desa Bedono ternyata terdapat seorang tokoh perempuan sederhana yang mempunyai jiwa seni sekaligus pelaku budaya dan pengrajin Kuda Lumping.
Sebut saja Sri Sumarni adalah Satu- satunya perempuan pengrajin kuda lumping di Kab. Semarang, yang bisa disejajarkan dengan pengrajin kuda lumping lainnya yang kebanyakan adalah kaum adam.
Dalam penuturannya. Pengalaman hidup yang berat dan pahit mengajarkan kepadanya untuk selalu berjuang dan bertahan hidup.
Beberapa tahun silam dirinya mengalami bagaimana ketika hanya dipandang sebelah mata, pengalaman di lapangan menjadikannya sosok yang tekun, sabar dan kuat.
Tak mudah bagi seorang perempuan untuk berkecimpung dalam dunia seni budaya dan kuda lumping. Namum pengalamannya bertahun- tahun terjun dalam dunia seni menjadi sinden, dan juga penari atau pemain warok, sekaligus perias pemain kuda lumping dan juga pawang reog, pawang atau lebih dikenal dengan dukun reog itupum ia lakoni
Sosok yang sederhana, juga tegas selalu terpancar dibenaknya.
Penyandang seniman sekaligus praktisi kuda lumping. Dalam perjalanan nya sejak tahun 2000 menjadi
seorang sinden yang kemudian belajar dari budayawan Kab. Semarang. Dalam kenangannta Suraya sebagai pelatih prajuritan kab Smg. Dari pak Suraya ia belajar banyak tentang kesenian kuda lumping atau jaran kepang ini.
” Awal tahun 2 000 an saya berlatih seni dengan pak Suraya untuk menjadikan diri saya sebagai pelaku Seni ” denikian kata Sri Sumarni seperti yang dituturkan oleh Noor Hayati sebagai pegiat Budaya pada Rabu (31//7/24). Kepada media Nasionalnews.co.id
Pengalaman hidupnya yang tidak jauh dari kesenian kuda lumping sekaligus menjadikannya mempunyai kepekaan sekaligus ketrampilan yang tidak semua orang bisa. Ibu sederhana ini mempunyai ketrampilan menganyam kuda lumping dari anyaman bilah bambu. Dan membuat kuda lumping.
Ketrampilan ini dipelajarinya secara otodidak, bakat seni yang dimilikinya mengajarkannya menganyam dan membuat kuda lumping. Dari anyaman bilah bambu tersebut setelah jadi dipotong dan dibentuk menjadi sebuah kuda lumping. Anyaman mentah kuda lumping tsb kemudian dicat sesuai dengan selera dan permintaan pemesan sesuai dengan model juga karakter kuda lumping.
Sementara ini Sri Sumarni dalam menekuni membuat Jaran Kepang telah melayani
Permintaan dari berbagai daerah, sementara permintaan pemesan kuda lumping dengan berbagai model.
Tentang Harga sebellum mematok harga ia terlebih melihat model atsu jenis pemesanan. Contoh seperti Magelangan. Surai bulu kuda terbuat dari sintetis
Semarang: dengan model dawa ndlosor dipatok kisaran harga 350.000 karena untuk surai terbuat dari duk atau ijuk.
Sementara untuk kuda lumping Magelangan kisaran harga dari 500.000 sd 700.000 dengan surai sintetis.
Sedangkan kalau permintaan dengai surai bulu kuda asli bisa sampai 1,5 atau 2 juta sesuai dengan surai bulu kuda yang memang untuk bulu kudanya sudah mahal harganya.
Sejak menekuni kuda lumping ia sempat mengalami pasang surut pesanan. Dalam sehari untuk menganyam bisa 3 sampai dengan 5 anyaman kuda lumping, namun untuk sampai finishing kuda lumping membutuhkan waktu 3 hari sampai dengan 1 Minggu.
Adakalanya mengalami kesulitan ditengah maraknya dunia budaya
Bambu adalah bahan baku kuda lumping. Bambu dibelah kemudian di anyam yang kadang tidak sesuai bambunya karena jenis bambu dapat mempengaruhi hasil kuda lumping
Harapan Sri Sumarni tetap dapat berbudaya dan berkarya melalui kesenian dan juga kerajinan serta ketrampilan membuat kuda lumping.
Perempuan tangguh yang berbudaya melestarikan budaya dan mempertahankan kearifan lokal, dengan caranya tersendiri, sebagai perias pemain reok/ kuda lumping atau jaran kepang, selain itu juga sebagai pawang reok atau dukun reog, sebagai orang yang berkecimpung dalam budaya dan kesenian yang mengakui wong Jawa aja nganti ilang Jawane.
Demikian Noor Hayati melaporkan seputar giat seni Budaya Kabupaten Semarang. (NANO)