Demokrasi Indonesia dan Nyanmar

Jakarta, Nasionalnews.co.id – KH .As’ad Said  Ali memaparkan,  Kehidupan politik yang demokratis di Indonesia lebih baik dibanding sejumlah negara sedang berkembang lainnya. Iklim demokrasi terjaga sehingga debat tajam seperti misalnya antara Abu Janda vs Natalius Pigai bisa berlangsung. Suatu Iklim demokrasi yang tetap terbuka hanya perlu peningkatan pamahaman lebih baik, sehingga tidak muncul isu premodialisme lagi. Keduanya dihargai sebagai seorang demokrat dan nasionalis.

Ia membandingkan dengan Myanmar, yang sama dengan warganya berbudaya memakai sarung,hanya cara memakainya berbeda.
Bahkan disana sarung dijadikan sebagai  pakaian nasional dan dari sanalah asal muasal sarung. Myanmar berubah menjadi demokrasi berkat perjuangan gigih pemenang hadiah nobel Aung San Syuu Kie pada 2016.

Namun beberapa hari yang lalu militer ( tamadat ) melakukan kudeta tidak berdarah. Menurut para diplomat asing, kudeta itu tidak berdasarkan pada alasan yang masuk akal. Tetapi menurut militer, kudeta itu karena partai Ang San Syuu Kie berbuat curang dalam pemilu yang baru saja di gelar.

Menurutnya di Indonesia, kemungkinan terjadinya kudeta itu tidak cukup besar. Sebabnya, tradisi rembugan / mufakat sudah menjadi bagian budaya dan berkat reformasi muncul generasi muda yang cukup trampil bahkan beberapa menjadi pemimpin daerah yang sukses membangun daerah. Salah satunya adalah Presiden Joko Widodo.

Dikalangan militer juga tampak mempunyai komitmen cukup kuat terhadap reformasi dengan salah satu indikasi beberapa mantan militer mendirikan Partai Politik. Sedang rakyat cukup bersikap cerdas  dalam memilih  pemimpin, tidak membedakan  dari kalangan sipil atau militer. Presiden SBY dari militer dan Presiden Jokowi dari kalangan sipil.

Harus diakui, banyak hal yang perlu diperbaiki dari demokrasi kita terutama mewujudkan demokrasi yang santun, berbudaya, mengurangi penyakit korupsi, kesenjangan ekonomi yang tinggi, mengembangkan toleransi yang selaras dengan Pancasila.

“Menurut karib dan tetangga saya , seorang aktivis Banser 1965 dan dai kondang di Jakarta , Habib Ali Abdurahman Al Segaf almrhum yang juga dianggap gurunya HRS , salah satu sebab tidak terpilihnya Basuki Cahaya Purnama  sebagai gubernur DKI adalah faktor kesenjangan ekonomi tersebut, yang kemudian diramu menjadi isu primordialisme memanfaatkan kekurang fahaman tentang makna Auliya dalam surat Al Maidah. Suatu pembelajaran bagi demokrasi kita,” tutur KH. As’ad Said Ali, Selasa, 2/2/2021.