KONFLIK PERADABAN DAN  DAMPAKNYA TERHADAP NKRI

Jakarta – F Fukuyama dalam tesisnya tentang konflik peradaban antara Barat ( Liberalisme – Kapitalisme ) vs Timur ( Asia Selatan dan Asia Timur ) vs Islam (Timur Tengah Asia Tenggara ) , memperkirakan  Barat akan menang. Banyak indikasi bahwa thesis ini masih dipercayai banyak pihak di negara Barat misalnya terlihat dari kebijakan TRUMP yang menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel dan agresivitas Kelompok Ultra Liberal serta perang dagang AS – RRC.

KH. As’ad Said Ali, mantan WABIN menjelaskan bahwa Usama bin Ladin yang pada mulanya adalah sekutu Amerika Serikat dalam perang melawan Uni Soviet di Afganistan, berbalik melawan AS setelah invasi AS / Barat ke Iraq ( Saddam   Husein).Mungkin menyadari adanya sekenario dari perang peradaban tersebut. Perlawanan  Usama tersebut bersifat konfrontatif / kekerasan dan menjadikan  negara muslim lain sebagai sasaran operasinya karena dianggap sekutu Barat.

“Terorisme hanya mewakili minoritas muslim yang mengikuti faham Salafy Jihadi – Takfiri, pecahan dari gerakan Salafy yang pada dasarnya menolak kekerasan. Strategy konfrontatip tersebut menempatkan umat Islam pada posisi sulit. Pada satu sisi harus menghadapi ancaman tetorisme dan pada sisi lain menghadapi tekanan Barat secara politik, ekonomi dan sosial budaya,” tegasnya.

Ia melanjutkan, Jepang ( peradaban Timur ) menjadi sasaran perang dagang pertama yang dikobarkan oleh AS / Barat sejak akhir 80-an. Jepang gigih bertahan, namun setelah AS menghancurkan nilai mata uang negara pheripheri yang menjadi patner dagang Jepang seperti Korea Selatan, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Taiwan dan lain-lainya, akhirnya pada 1998 Jepang mengalami  kekalahan dan Indonesia terkena  dampak berupa krisis ekonomi  yang mengakibatkan ambruknya Orde Baru.
Dan sejak 5 tahun terakhir RRC menjadi sasaran perang dagang babak kedua.

“Bagaimana dengan Indonesia?. Dalam rangka menghadapi ancaman terorisme, Presiden Abdurahman Wahid, mengizinkan intelijen bekerjasama dengan Klub intelijen negara negara muslim moderat. Salah satu keputusan dari Klub Intelijen tersebut adalah perlu adanya kerjasama pada level umat yang bersifat internasional. Umumnya negara negara muslim menolak tesis perang peradaban, yang terjadi adalah interaksi saling mengambil atau memberi nilai yang juga disebut dialog antar peradaban,” tanyanya.

Pada era  Presiden Megawati, atas izin dan restunya, PBNU ( era Kyai Hasim Muzadi) menyelenggarakan ICIS ( International Conference of Islamic Scholars ) melibatkan tokoh tokoh muslim dunia dan Indonesia. Tiga kali pertemuan , sekali pada era Presiden Megawati dan dua kali pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono. ICIS menjadi jembatan komunikasi dalam mencegah faham teror di masing masing negara muslim. Suatu kiprah NU yang monumental sebagai sumbangan kemanusiaan dan perdamaian dunia yang merupakan  perwujudan nilai “Islam Rahmatan Lil Alamin”.

“Saat ini pandangan  mata dunia tertuju ke Afghanistan setelah Presiden Joe Biden mengumumkan rencana penarikan pasukannya pada 11 september 2021 nanti. Pada hal Afganistan atau Khorasan itu berbatasan langsung dengan RRC ( propinsi Xin Chiang / Uighur ). Kita belum tahu apa yang akan terjadi setelah terjadi vacum of power ditengah konflik dagang AS vs RRC masih berlangsung. Apakah akan ada eskalasi konflik peradaban dan terorisme? tanyanya.

“Bagaimana dengan Indonesia? Kalau pihak lain ingin menguasai Indonesia, apakah dari Barat atau Timur, tidak perlu secara militer tetapi cukup dengan melemahkan  Pancasila. Mungkin tidak semua elemen bangsa menyadari bahwa upaya Barat itu sudah berlangsung sejak awal reformasi menumpangi proses amandemen UUD 1945 atau nebeng program liberalisasi politik, ekonomi dan sosial budaya sesuai kesepakatan Indonesia dengan IMF. Jadi jangan heran  ada upaya  dari tangan tangan jahil tersembunyi untuk menghilangkan Pancasila dari kurikulum pendidikan. Untung ketahuan dan pemerintah segera mengoreksi,” tanya KH. As,ad, Senin, 19/4/2021. (Red)