Jakarta, Nasionalnews.co.id – KH. As’ad Said Ali menjelaskan ditengah arus liberalisasi sosial- agama yang terasa semakin kuat, mendorong saya untuk mengajak netizen untuk secara bersama menyimak hubungan antara agama dengan negara khususnya dari khazanah keilmuan Islam dan kebangsaan. Sebab demokrasi Indonesia akan berkembang kalau kita sudah mempunyai sistem toleransi khususnya toleransi beragama. Saya sering berbicara tentang hal itu dikalangan kader Anshor dan kader kader muda NU diseluruh Indonesia secara sekilas. Beberapa kader muda NU mengenal istilah toleransi kembar diatas atau twin toleration dari Kyai Abdurahman Wahid, jauh sebelum Ia menjadi Presiden.
KH. As’ad melanjutkan, adalah Alfred Stephan, ilmuwan ahli Politik tersohor Amerika Serikat ( 1926 – 2013 ), orang pertama dari negara Barat yang getol berargumentasi bahwa bangsa bangsa Islam bisa membangun demokrasi dengab menyandingkan Islam dengan nilai nilai demokrasi yang berkembang lebih dahulu di Eropa. Ia memperkenalkan teory “ toleransi kembar “ atau twin toleration yang dimaknai , agama menoleransi negara dan sebaliknya negara menoleransi agama”.
Menurut Alfred Stephan tidak seharusnya negara dan agama selalu dipertentangkan seperti yang terjadi di Eropa yang berdasarkan pada Liberalisme. Dalam realitas , tidak sedikit negara yang berbasis peradaban Nasrani terjebak kedalam sistem politik otoriter. Ia melihat bahwa negara yang berbasis peradaban Islam potensial menjadi negara demokrasi.
“Tentu saja, pendapat Alfred Stephan tersebut diamini oleh kalangan santri, termasuk saya. Kenapa demikian?.Kaum Santri mengenal teory itu dari Imam Ghozali ( 1050 – 1111 M ) yang di Barat lebih dikenal dengan Algazel. Imam Ghazali berpendapat bahwa “ agama Islam (Dien) dan negara (Sulthon) seperti saudara kembar yang tidak terpisahkan satu sama lain, agama sebagai azas ( nilai- etis ) dan negara sebagai kharis atau penjaga. Dengan kata lain, negara menoleransi agama dengan memfasilitasi dan menjaganya, sebaliknya agama menoleransi negara dengan menerima kehadirannya dan tidak memaksakan syariatnya sebagai hukum negara,” kata mantan Wakabin, lewat keterangan tertulis, Kamis 29/7/2021.
Menurutnya, Ideologi Pancasila yang dirumuskan oleh kaum nasionalis – relijius ( Sukarno – Hatta ) dengan kaum relijius nasionalis ( H Agus Salim / SI, Ki Bagus Hadikusuma/MD, KH Wahid Hasyim/ NU ) merefleksikan konsep toleransi kembar. Kita mengenalnya sebagai konsep “ bukan negara agama dan bukan pula negara sekular , tetapi negara bangsa yang meyakini agama”. Tidak aneh, karena kaum santri terwakili secara representatip dalam BPUPKI dan PPKI, demikian pula kaum nasionalis juga memahami budaya dan ruh bangsanya. Kedua golongan itu bersama berjuang sejak 1905 jadi saling memahami pandangan dasar masing masing.
Adakah negara muslim lainnya yang mempunyai konsep seperti itu yang mengawinkan antara Islam dengan faham negara bangsa yang menjunjung demokrasi dan liberalisme ( persaudaraan, kebebasan, persamaan ). Jawabannya, setahu saya , bangsa Indonesialah yang mengawalinya karena para pendiri bangsa mampu berpikir “transformatip” ( Khiwar bainal Al Khaddharah – dialog peradaban ). Bukan cara konfrontatip ( Kharb baina Al Khaddharah ) atau perang peradaban seperti cara berpikir Al Qaeda atau ISIS.
Berpikir transformatip itu seperti sering kita dengar dari ungkapan yang dikutip dari qowaid al fikh yang sering diucapkan oleh KH Andurahman Wahid “ Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik”. Transformasi peradaban akan menumbuhkan nilai nilai yang lebih relevan dengan kekinian dan tanpa harus kehilangan jati dirinya.
Sayang generasi penerus alpa untuk menjabarkannya kedalam sistem politik nasional, sehingga terwujud suatu model toleransi yang Islami dan khas Indonesia. Mungkin, masing masing sibuk dengan urusan kepentingan sesaat, baik kepentingan pribadi, golongan dan partai politik masing- masing.