Jakarta,Nasionalnews.co.id – Setelah Presiden Otoritas Palestina Yaser Arafat wafat pd 2004 terjadi perpecahan antara Al Fatah yang menguasai Tepi Barat S Yordan berhadapan dengan Hamas yang menguasai Gaza. Fatah dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas, sedang Hamas dipimpin Khaled Mishal dan Ismail Haniya. Al Fatah didukung Mesir dan Arab Saudi cs sedang Hamas ( Ikhwanul Muslimin ) didukung Iran, Syria dan kini Qatar.
KH. As’ad Said Ali, WAKA PBNU mengatakan Pertentangan keduanya karena perbedaan strategi melawan Israel. Belajar dari pengalaman, setelah kegagalan dalam menggunakan aksi teror internasional, Arafat beralih melakukan intifadlah ( perlawanan sipil ) dan perundingan sehingga akhirnya Israel menyetujui pembentukan “ Otoritas Palestina / pemerintah sementara” berdasarkan Perjanjian OSLO ( 1993). Arafat mengakui eksistensi Israel, sebaliknya Israel mengakui Palestina dan menurut Oslo Agreement ,setelah 10 tahun perundingan damai dilanjutkan sampai penyelesaian secara tuntas.
Perundingan lanjutan dimulai lagi pada 2003 akhirnya terhenti pada 2005 karena ada perbedaan besar antara Al Fatah dengan Hamas. Setelah Arafat wafat pada 2004 , Hamas menarik pengakuan terhadap Israel . Bersamaan itu Hamas mulai mendapat bantuan senjata dari Iran yang diselundupkan via Mesir terutama pada era Pres Mursi ( IM ) berkuasa. Sejak itu konflik Al Fatah vs Hamas semakin dalam. AS / Barat tidak mengakui Hamas dan memasukkannya kedalam daftar “terorisme” dan oleh karena alasan itulah AS mendukung serangan Israel ke Gaza.
Perpecahan internal itu merupakan refleksi dari pertikaian ideologi dan kepentingan antar negara Arab. Tentu saja konflik internal Arab / Palestina itu menguntungkan Israel yang sejak 2009 dipimpin oleh PM Benjamin Netanyahu yang juga ketua Partai Likud. Berdasarkan uraian singkat diatas , serangan roket Hamas ke Israel dengan dalih membantu warga Palestina yan2g terlibat konflik di Yerusalem mempunyai tujuan ganda, merebut kepemimpinan Otoritas Palestina dan sekali gus “ untuk menghentikan” proses perdamaian OSLO.
Oleh karena itu, tidak heran Turki, Syria, berdiri dibelakang Hamas, sedang Mesir, Arab Saudi cs berpihak kepada Presiden Mahmud Abbas. Turki bukan negara garis depan dalam menghadapi Israel sehingga dukungan lebih bersifat politik dan tidak akan menerjunkan pasukannya. Berbeda dengan Mesir dan Yordan yang berada digaris depan dan akan konsisten pada strateginya , penyelesaian melalui perundingan, bukan jalan perang terbuka
Arafat mengikuti strategi Mesir yang pada 1978 melakukan perdamaian Camp David dengan Israel yabg disponsori oleh Amerika Serikat setelah pasukannya menjebol pertahanan Israel ( Barlev Zone ) dalam perang 1973. Mesir memperoleh kembali Sinai yang direbut Israel pada perang 1967 dan berhasil memaksa Israel untuk mengakui Tepi Barat Sungai Yordan dan Gaza sebagai wilayah Palestina.
Hamas tampaknya mengikuti keberhasilan “ Hizbullah “ Libanon yang mampu mempertahankan posisi strategis di Binti Jbail ( Libanon Selatan ) dari serangan Israel. Kondisi geografisnya, berbeda jauh, Binti Jbail perbukitan, Gaza dataran rendah. Seperti halnya Hamas, Hizbullah adalah kepanjangan tangan Iran. Dari Libanon Selatan Hizbullah bisa menembakkan roket atau rudal buatan Iran ke wilayah Israel Utara, tetapi kini tidak dilakukan , kecuali beberapa roket itupun jatuh di laut Mediterania. Pada masa lalu Haifa dan Naqura sering menjadi sasaran rudal Hizbullah.
“Kita bisa mempertanyakan, akankah Israel yang dibantu AS akan menhentikan serangan ke Hamas sblum melumpuhkan sistem persenjataan Hamas? Iran kini punya kartu, utk membujuk Hamas. Belum tentu mendapat respons dari AS, kecuali Hamas bisa lepas dari tekanan militer Zionis Israel. Siapa tahu, situasi sekarang menjadikan Palestina bersatu kembali dan Otoritas Palestina berada dalam satu komando duduk dimeja perundingan damai dengab Israel,” pungkasnya, Senin, 17/5/2021.