JAKARTA ,Nasionalnews.co.id – Kita sering mendengar kalimat “ demokrasi transaksional dan prosedural “. Istilah yang menunjukkan keprihatinan publik terhadap perkembangan politik dan demokrasi sejak Reformasi 1998. Mengapa demikian ?
Globalisasi dan Reformasi membawa berkah perkembangan ekonomi yang lebih cepat dari era sebelumnya. Meningkatnya proyek pembangunan pemerintah dan transaksi bisnis swasta mengakibatkan peredaran uang berlipat ganda. Dimanapun, pelaku bisnis tentu saja menikmati kue kemajuan ekonomi lebih dahulu dan lebih besar dibanding golongan masyarakat lain nya.
“Pada saat yang bersamaan, biaya untuk menggerakkan roda politik meningkat pesat. Masyarakat awam juga ingin ikut serta menikmati kesejahteraan, akibatnya suara mereka mempunyai harga tersendiri. Kita tidak bisa menyalahkan, sepanjang ketimpangan ekonomi masih tinggi, maka kesadaran politik demokrasi merupakan suatu persoalan,”ungkap As’ad Said Ali dalam keterangan tertulis, kepada media Nasionalnews.co.id selasa (7/9/21).
Lebih lanjut ditegaskan,mantan WAKA BIN Mulai dari titik inilah berawal timbulnya pragmatisme dalam politik.Pada awalnya cukup puluhan atau lima puluhan ribu, kini harga suara meningkat menjadi lembaran ratusan ribu dalam setiap pilkada atau dalam pileg. Bagaimana memperoleh dana, itulah persoalan bagi politisi. Itu suatu realitas dan sekali lagi kita tidak bisa menyalahkan siapapun karena merupakan siklus perkembangan dalam pembangunan demokrasi yang harus dilewati.
“Disinilah pentingnya ideologi negara Pancasila menjadi rujukan berpolitik seluruh warga bangsa dimanapun mereka berperan,”ucap As’ad.
Pancasila yang mencerminkan ideologi tengah atau washotiyah menuntun kita untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan asas “Kebebasan, Keadilan dan Keberagaman”
Oto-kritik diperlukan secara berkesinambungan untuk mengawal proses demokratisasi kita hingga menjadi semakin matang dan dewasa. Hal ini karena sistem ekonomi kapitalistis secara teoritis mengandung unsur pragmatisme lebih besar dari idealisme yang menyertainya. Dan dalam era globalisasi, kita tidak mungkin menghindari realitas tersebut.
Dengan tetap berpegang pada Pancasila, suatu kesepakatan luhur para pendiri bangsa dan negara atau “misakon Gholidho” ( ميثاقا غليضا) , bangsa Indonesia tidak akan kehilangan arah perjuangan. Dengan kata lain “patriotisme” dan heroisme para pejuang yang telah mendahului, harus senantiasa kita kobarkan dalam diri masing masing untuk mengatasi hasrat “pragmatisme”. Red/03