Politik Uang Mencidrai Demokrasi

Jakarta, Demokrasi liberal yang diterapkan Indonesia membawa dampak suburnya  politik uang dan mencidrai Demokrasi. Hal ini terjadi karena kondisi masyarakat masih belum siap dengan Sistem Demokrasi liberal.

“Semakin sering kita baca atau dengar  ungkapan  “ Siapa yang sebenarnya berkuasa di negeri ini “ ?. Hal itu menunjukkan meningkatnya gejala kegelisahan khususnya dikalangan kaum intelektual atas  semakin kuatnya oligarkhi kekuasaan di negeri ini,” ujar KH. As’ad Said Ali, Sabtu, 20/03/2021.

Menurutnya, oligarkhi pada awalnya adalah kekuasaan ditangan  sekelompok kecil politisi atau  elite  politik yang berkonotasi dengan uang ( orang kaya ). Sebenarnya sudah ada sejak Orde Baru, tetapi transaksi  uang itu ( politik uang ) dalam sistem politik demokrasi yang diterapkan sejak reformasi jelas mencederai demokrasi.

Bukan hanya Oligarkhi dilingkungan “ pembuat keputusan”  di pusat dan  daerah, politik uang atau transaksi uang itu beredar. Tetapi terjadi juga dalam setiap pemilu. Bukan hanya bagi-bagi uang di warung-warung kopi / sawah  dan serangan fajar, bahkan  juga pemindahan suara untuk memenangkan seorang kandidat yang mestinya kalah.

“Dengan kata lain, politik sudah terjebak kedalam “ sistem oligarkhi” atau suatu pola penggunaan uang dan materi untuk memenangkan pemilihan. Caleg atau Cabup sulit menang tanpa melibatkan uang atau materi lainnya. Berbagai macam aturan dibikin, tetapi gagal mencegah gejala tersebut. Timbullah korupsi politik yang sulit diberantas oleh KPK,” jelasnya.

Ia melanjutkan, tentu saja tidak semua pemenang kontes pemilihan politik menang dengan cara seperti itu. Pasti ada calon yang berlaga dengan  lebih mengandalkan modal politik atas dasar reputasi, performans , kecerdasan dan interaksi yang terbangun lama.

“Sedihnya politik uang menjalar dikalangan akar rumput sudah menjadi realitas yang tidak bisa disembunyikan dan hal itu  bersumber pada kemiskinan. Suara akan diberikan kepada siapa yang berani membayar lebih tinggi. Sering kita dengar istilah “ wani piro atau berani membayar berapa,” paparnya.

Saya pernah diperingatkan oleh seorang pemuka masyarakat yang sangat terpandang sehabis ceramah sebab menganggap hal itu sebagai bagian dari rasuah. Kata beliau , biarlah mereka orang kecil ikut menikmati demokrasi tiga kali dalam lima tahun ( pileg, pilbup dan pilgub  ). Saya pun tersadar ada problem kemiskinan , suatu faktor yang mendasar.

Timbul pertanyaan apakah demokrasi yang kita terapkan sejak reformasi sesuai dengan kondisi masyarakat kita ?. Kata Alexis de Tocqueville , penulis buku  “ Democracy in Amerika” yang meramalkan bahwa Amerika Serikat akan menjadi kampiun demokrasi karena didirikan oleh pejuang demokrasi yg melarikan diri dari penindasan kaum aristokrat di Eropa Barat.

“Imam Mawardi pada abad pertengahan juga menulis dalil atau teory bahwa “ sistem politik suatu bangsa terbangun dari aqidahnya ( nilai agama dan budaya ). Mungkin kita sejak 1999 tergesa gesa memaksakan sistem politik demokrasi liberal   tanpa penyesuaian dengan kondisi masyarakat kita.  Mungkin perlu pentahapan”? Pungkasnya.