Opini  

Kebijakan Mendesak, Pemberantasan Korupsi dan Penyatuan masyarakat yang terbelah

Masalah korupsi dan masyarakat yang terbelah akibat pilkada DKI dan pilpres 2019 sangat mengganggu penanganan Covid-19, proses pembangunan dan akhirnya menghambar kemajuan bangsa.

 

Dilansir dari facebook KH. As’ad Said Ali,Selasa, 19/01/2021, bahwa tampilnya J Biden bertepatan dengan mulai bangkitnya dunia membasmi C19 yang ditandai dengan dimulainya vaksinisasi diberbagai negara. Dibawah Trump, AS tidak lagi menganggap diri sebagai pemimpin dunia, sebaliknya “ inward looking”. Trump juga tidak percaya isu pemanasan global dan tidak percaya pendapat pakar kesehatan sehingga akibatnya ada 24 juta kasus C 19 dan 400 ribu meninggal di negara tersub, terbesar didunia.

 

“Tampilnya Biden, dunia berharap AS akan memperbaiki peran dunianya atau lebih outward looking, sehingga membuka peluang  kerjasama multilateral yang lebih luas terutama dalam rangka membasmi covid. Banyak yang memperkirakan “iklim  politik dunia” akan lebih kondusif.dari sebelumnya, terutama perang dagang AS – RRC. Wallahu a’lam,” sambungnya.

 

Menurutnya, tiga bulan kedepan menjadi bulan penting, apakah Indonesia mampu keluar dari lingkaran C19 dan mengatasi dampak ikutan-nya dibidang ekonomi. Vaksinasi massal telah dimulai dan kita menunggu langkah recovery ekonomi lebih lanjut. Siapapun presidennya, pilihan kebijakannya tidak mudah terutama mencari dana segar untuk menggerakkan roda ekonomi ditengah situasi ekonomi dunia yang terpuruk. Tentu ada peluang dan resikonya.

 

Dan ada dua hal lagi yang  krusial karena akan mempengaruhi sukses dan tidaknya kebijakan pemerintah ; pertama, keseriusan Parpol untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Dua menteri dari parpol yang terjerat OTT KPK adalah langkah awal yang membuat optimisme pemberantasan korupsi. Lebih optimis lagi kalau parpol pro aktip mencegah kadernya dari perilaku korup. Jangan pula pemberantasan korupsi mengurangi soliditas Koalisi Pemerintah.

 

Kedua : Pembelahan politik diakar rumput sebagai residu pilkada DKI sesegera mungkin di persempit. Persoalan pokoknya adalah “ kesenjangan ekonomi yang melebar pasca reformasi “ dan bukan rasialisme atau intoleransi seperti yang sering kita dengar.  Mungkin mereka yang menyebut intoleransi tersebut menggunakan Liberalisme dan bukan menggunakan Pancasila sebagai parameter untuk mengukur kadar toleransi.

 

Sedapat mungkin elite politik tidak menunggangi ormas khususnya ormas keagamaan menjadi semacam kendaraan politik. Apalagi dengan menebarkan isu politik adu domba yang tidak produktip untuk membangun persatuan bangsa. 

 

Sudah saatnya Pendidikan ideologi Pancasila ( PIP ) menjadi arus politik utama   untuk memperkokoh persatuan dan perkuatan ideologi bangsa dan negara. Pembubaran ormas ekstrim tidak serta merta mematikan upaya untuk penyebaran ideologinya.Tidak terlalu sulit untuk menditeksinya keberadaannya, walaupun telah bersembunyi dibalik baju merah, putih, hijau atau coklat. 

 

PIP ( pembinaan Ideologi Pancasila )  adalah jawabannya dan dalam mempersempit pembelahan masyarakat tidak  perlu menciptakan suasana horor. Sebaliknya melalui proses penyadaran ideologis seperti dialog , pendidikan, penggalangan dengan menggunakan ideologi Pancasila sebagai pelurunya.