Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada 27 Agustus lalu menyatakan bahwa Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun kedepan. Pernyataan itu sejalan dengan kebijakan Amerika Serikat untuk kembali pada komitmen kebijakan mencegah “ pemanasan global “ yang ditanggalkan oleh pendahulunya Donald Trump. Hari pertama berkantor di Gedung Putih, Biden langsung menutup pipa minyak “ Keystone Pipeline” dari Kanada ke Lousiana sepanjang sekitar 1074 km lebih yang diizinkan pada periode Trump, dengan alasan bertentangan dengan “komitmen dunia “ untuk memerangi pemanasan global.
Seperti gaung bersambut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021 memutuskan perkara yang diadukan oleh Koalisi Peduli Indonesia tentang “ pencemaran udara Jakarta “ sesuai dengan Peraturan Pemerintah no 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sudah melampui ambang batas PM 2, 5 atau 55 mikrogram per milimeter kubik. Majelis Hakim memutuskan bahwa tujuh pejabat negara, termasuk Presiden dan Gubernur DKI serta 5 pejabat lain dianggap bertanggung jawab dan diminta untuk memperbaiki kualitas udara di DKI.
Pencemaran udara dan pemanasan global merupakan dua hal yang terkait satu sama lain. Pencemaran udara terkait erat dengan proses pembakaran bahan bakar fosil ( minyak bumi dan batubara ) oleh kendaraan bermotor, pembangkit tenaga listrik dan industri ; yang dianggap menjadi sebab utama terjadinya pemanasan global. Disamping itu juga terkait dengan kelestarian hutan yang berfungsi sebagai penyaring udara.
Menarik untuk mencermati, mengapa Presiden Joe Biden secara khusus menyoal kemungkinan tenggelamnya Jakarta dalam waktu sepuluh tahun. Dibalik pernyataan itu tersirat ajakan kepada Indonesia untuk lebih aktif berupaya mengatasi pemanasan global dalam skala waktu tertentu, mengingat Indonesia menduduki posisi strategis karena mempunyai hutan tropis luas yang dianggap sebagai “ paru paru dunia”. Dengan demikian kebijakan Indonesia senantiasa akan menjadi perhatian dunia.
Suatu kesan negatif bahwa eksploitasi hutan khususnya untuk perkebunan kelapa sawit dan penambangan batubara merupakan realitas yang sulit dihindari. Luas hamparan hijau hutan sebagai penyerap emisi karbon cenderung terus berkurang sehingga menjadi obyek protes para pegiat Lingkungan hidup dan HAM. Bahkan sering berubah menjadi isu persaingan dagang berupa kampanye anti produk yang mengandung palm oil.
Persoalannya tidaklah sederhana itu, karena menyangkut hajat hidup jutaan rakyat. Sejak Orde Baru berlangsung penebangan hutan untuk pemenuhan kebutuhan kayu dan berlanjut dengan penambangan batu bara dan penanaman kebun kelapa sawit. Hampir setiap tahun Indonesia harus menghadapi kampanye bukan saja soal palm oil, tetapi juga kampanye pengurangan penggunaan batu bara.
Selama ini Indonesia sudah mempunyai komitmen terhadap pemanasan global yang dibuktikan dengan pembentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah no 22 tahun 2021 tentang ambang batas polusi udara, meskipun masih jauh dari standart WHO. Sejauh ini upaya mengurangi emisi gas yang mempunyai andil terbesar dalam pencemaran udara tampaknya dinilai kurang maksimal.
Pernyataan Preseden Amerika Serikat, Joe Biden dan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tersebut bisa menjadi momentum untuk menyempurnakan kebijakan tentang “ pemanasan Global” dengan menyeimbangkan hajat hidup rakyat dan perlindungan lingkungan hidup dengan memanfaatkan kemajuan teknologi secara maksimal. Paradigma pembangunan ekonomi sekarang ini setara dengan paradigma lingkungan hidup suatu “ realitas baru “ pada era globalisasi. (As’ad Said Ali)