Cilacap – Islam menekankan pentingnya akhlak pada pribadi setiap muslim. Pembentukan akhlak sejalan dengan tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW, Innama buitstu liutamimma makkarim al akhlaq (Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak). Dalam hadits lain dijelaskan juga: akmalul mu’miniina iimaanan ahsanuhum huluqa (kaum Mu’min yang sempurna imannya, adalah yang paling baik akhlaknya). Bahkan disebut juga, akhlak derajatnya lebih tinggi dibanding ilmu.
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, lembaga pendidikan menekankan pendidikan karakter melalui mata pelajaran, salah satunya mata pelajaran aqidah akhlak. Mata pelajaran aqidah akhlak merupakan salah satu rumpun mata pelajaran agama yang tujuan pembelajarannya membentuk akhlak mulia bagi peserta didiknya. Sebagaimana disebutkan di atas, akhlak lebih tinggi dibanding ilmu, maka pendidikan yang baik tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan (knowlwdge oriented), melainkan juga berorientasi kepada penanaman nilai (value oriented).
Nilai adalah sesuatu yang berharga. Nilai merupakan hasil yang dicapai atas sesuatu kegiatan. Nilai merupakan prestasi. Dalam konteks akhlak, yang dimaksud nilai ialah internalisasi pengetahuan tentang budi pekerti yang terejawantah melalui kegiatan sehari-hari tanpa adanya paksaan dan keterikatan.
Sejalan dengan hal tersebut, meminjam taksonomi Bloom bahwa ranah-ranah yang dikembangkan dalam proses pendidikan meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif terfokus pada perilaku intelektual seseorang. Ranah afektif terfokus pada sisi emosi dan perasaan dari peserta didik dan ranah psikomotorik terpusat pada perilaku yang mengarah pada aspek motorik peserta didik.
Dari ketiga ranah tersebut, ranah afektif dan psikomotorik yang disebut paling sulit untuk dikembangkan dibanding ranah kognitif. Menurut penulis, kedua ranah tersebut lekat dengan akhlak. Sebab akhlak bukan hanya mencerminkan sikap batiniah (afektif) akan tetapi juga perilaku lahiriah (psikomotor).
Kesulitan mendidik karakter siswa diamini oleh Dr. Dessy Wardiah (Dosen dan Asisten Direktur Pasca Sarjana Universitas PGRI Palembang) yang mengatakan bahwa dengan berbagai kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, transfer of knowledge dipastikan bisa berjalan, namun transfer of value mungkin agak tertinggal, saya melihat berbagai lembaga pendidikan berlomba-lomba mengunggulkan knowledge, namun sedikit terlupa untuk menguatkan karakter bernilai unggul bagi peserta didik.
Pengembangan Metode
Dalam teori pendidikan, kita menganal ragam metode pendidikan. Menurut An-Nahlawi dalam kitabnya yang berjudul Ushulut Tarbiyyah Islamiyyah wa Asalibuha menelaskan macam-macam metode pendidikan akhlak. Dalam tulisan ini tidak akan diuraikan seluruhnya metode-metode tersebut, hanya sebagiannya saja yaitu: metode uswah (keteladanan), riyadhah (latihan pembiasaan), mauidhah (nasehat), dan qishah (bercerita). Untuk memperoleh hasil yang optimal, penerapan metode-metode pendidikan akhlak tersebut, harus diterapkan secara kontekstual. Artinya, pada tataran praktis sangat memungkinkan pengembangan di dalamnya.
Dalam era digital saat ini, pengembangan metode-metode tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi seperti smart phone dan lain sebagainya. Dengan statemen lain, kehadiran smart phone dan aplikasi pintar lainnya dapat membantu dalam rangka pembaharuan strategi pembelajarannya. Dengan hadirnya aplikasi pintar saat ini, memungkinkan seorang guru memantau kegiatan sehari-hari siswa di luar sekolah. Dengan kerjasama dengan orang tua, guru dapat meminta informasi tentang keseharian peserta didiknya di rumah.
Penerapan metode keteladanan yang berpusat kepada guru, agar lebih menarik perhatian siswa dapat dilakukan dengan cara guru mengupload kegiatan guru sehari-hari melalui aplikasi Whatss App, google classroom dan lain sebagainya. Melalui aplikasi-aplikasi tersebut, siswa mendapatkan pengalaman belajar secara ‘aenul yaqin. Artinya, siswa dapat melihat secara langsung hal-hal positif yang dilakukan oleh guru. Disinilah letak pengembangan metode keteladanan di era digital. Hal semacam itu hanya salah satu contoh saja, adapun variasi penyajian bisa beragam.
Demikian halnya dengan metode riyadhah (pembiasaan). Melalui telephon pintarnya, guru dapat memonitor perkembangan peserta didik dalam melakukan pembiasaan-pembiasaan positif yang dilakukan di luar sekolah, misalnya di rumah. demikian halnya dengan penerapan metode nasehat dan kisah. Dengan berbekal kemajuan teknologi, guru dapat memberikan nasehat-nasehat secara virtual tanpa harus melalui pertemuan, kapan dan dimanapun keberadaannya. Dengan teknologi semua menjadi mudah. Jadi memang benar ungkapan: “dengan agama hidup menjadi terarah, dengan seni hidup menjadi indah dan dengan teknologi hidup menjadi mudah”.
Kreasi Model Penilaian
Selain pembaharuan strategi di atas, pembelajaran aqidah akhlak harus menerapkan beberapa kreasi model penilaian yang dapat menyentuh segemen-segmen perilaku atau sikap. Penilaian sikap didasarkan pada otentisitas perilaku siswa yang telah dibangun melalui proses pendidikan, baik di sekolah, keluarga ataupun masyarakat.
Dalam penilaian akhlak, model penilaiannya tidak hanya terpusat pada sejauh mana peserta didik memahami dan mampu menyebutkan akhlak-akhlak terpuji dan tercela. Namun harus menjangkau pada kemampuan peserta didik dalam mempraktekkan akhlak terpuji dan menghindari akhlak tercela. Hal ini disebabkan nilai baik tidak menjamin peserta didik tersebut memiliki karakter yang baik pula.
Penilaian sikap atau akhlak memiliki tingkat kerumitan yang tinggi, sebab dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan satu atau dua hari, tapi bisa berbulan-bulan bahkan tahunan atau bahkan tidak bisa dibatasi oleh rentang waktu yang ditentukan. Secara garis besar, peniaian sikap dapat dilakukan dengan tiga model yaitu pertama, penilaian yang berbasis angka (kuantitatif), seperti pemberian skor angka 1-10. Kedua, penilaian non angka (kualitatif), seperti deskripsi dalam bentuk pernyataan verbal: baik sekali, baik, sedang, kurang, atau kurang sekali. Ketiga, penggabungan keduanya yakni penggabungan model kuantitaif dan kualitatif.
Kehadiran teknologi, memungkinkan seorang guru dapat bekerjasama dengan orang tua dan masyarakat untuk memperoleh informasi tentang perilaku peserta didik di luar sekolah. Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi seperti smart phone setidaknya dapat membantu guru dalam melakukan penilaian secara berkala tentang perkembangan karakter siswa. Dengan cara ini, peserta didik akan merasa terawasi secara terus menerus meskipun diriya tidak sedang berada di luar sekolah. (Zaenatul Fitriya, S.Pd.I /Pendidik di MI Ma’arif 02 Salebu)