Menurut Presiden Joe Biden alasan penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afganistan seperti yang dikemukakan secara terbuka adalah penghamburan dana dengan memberikan ilustrasi sehari mencapai US $ 300 juta. Dikatakan pula, adapun dalam rangka counter terorisme negaranya akan tetap mempertahankan pasukan dalam jumlah terbatas di kawasan Timur Tengah ( al di Iraq ).
Penarikan pasukan AS dari Afganistan dipandang oleh sekutunya sebagai berkurangnya komitmen global dalam memperjuangkan demokrasi dan pluralisme. Dalam persepsi Barat, Imarat Islam Afganistan bertentangan dengab “agenda terselubung” globalisasi yaitu penyeragaman pluralisme ala Barat ( Globalisme ). AS dan sekutunya menekan suatu negara yang dibantunya dengan mensyaratkan “ liberalisasi politik – ekonomi – sosial “. Imarat Islam Afganistan ( IIA ) dilihat dari perspektip Barat merupakan sistem politik yang tidak sesuai dengan kriteria mereka.
Amerika Serikat menyadari, proses demokratisasi yang digelindingkan bersama rezim nasionalis Afganistan sejak 2001 mengalami kegagalan setelah berlangsung selama 20 tahun. Dan hal ini ,pada hemat saya menjadi salah satu alasan lain dari penarikan pasukannya dan sekaligus melepaskan diri dari jebakan situasi politik – keamanan yang diciptakan sendiri.
Adalah suatu ironi memaksakan suatu sistem demokrasi Barat terhadap suatu entitas politik yang selama beberapa abad menjalankan sistem kesultanan yang masih berlaku sampai tahun 1973.
Bagi negara sedang berkembang ( DUNIA KETIGA ), penarikan mundur AS dari Afganistan dan kemudian diikuti perubahan sikap dengan tidak melakukan campur tangan terhadap urusan dalam negeri Afganistan merupakan suatu hal yang posistif. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip Dasa Sila Bandung yaitu “ Non Intervensi “ atau tidak mencampuri masalah dalam negeri negara lain, kecuali atas permintaan negara yang bersangkutan.
Dalam jangka pendek persoalan yang dihadapi oleh Imarat Islam Afganistan ( IIA ) adalah menyusun sistem politik inclusive dan rekonsiliasi nasional. Tarik ulur akan berlangsung antara pendukung IIA berhadapan dengan lawan lawannya selama ini, yang terdiri mereka yang menghendaki sistem demokrasi- nasional dan suku minoritas seperti Hazara, Tajik dan Uzbek serta pemeluk agama minoritas antara lain yang cukup besar jumlah nya adalah Shiah meliputi 6 persen dari jumlah penduduk.
Persoalannya adalah bagaimana menyiasati suatu susunan masyarakat plural menjadi suatu kesatuan entitas politik yang bersatu padu. Dalam hal ini Indonesia mempunyai pengalaman yang sudah teruji sepanjang kemerdekaanya selama 76 tahun dengan menggunakan “ pola pikir transformatif “. Termasuk di dalamnya, menyiasati bagaimana nilai politik modern bersinergi dengan nilai nilai Islam yang dipeluk mayoritas serta nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah. Bahkan termasuk didalamnya bagaimana menyatukan umat yang berbeda agama bisa bersatu dalam satu atap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam hal ini Indonesia sudah mempunyai modal sosial dan diplomasi yaitu hadirnya Nahdlatul Ulama Afganisan ( NUA ) yang terbentuk pada 2014. Keanggotaannya kini sudah tersebar di 22 dari 34 propinsi dan diterima baik oleh Taliban maupun Mujahidin. Asas dasarnya yaitu Tawasuth ( moderat ), Tawazun ( berimbang – independen ), Tasamuh ( tolerans), I’tidal ( keadilan ) dan musyarokah ( musyawarah ).
Interaksi NU dengan NUA dan Taliban cukup intens sampai sebelum pandemi Covid. Terakhir pertemuan tertutup antara 4 tokoh Taliban dan eksponen NU di Jakarta dan hasilnya telah disampaikan kepada pemerintah via Ketua DPD waktu itu , Dr Usman Sapta Odang sebagai pihak yang mesponsori pertemuan. Kedua belah pihak yang bersengketa sejak lama tersirat ingin Indonesia menjadi penengah. Jika pemerintah berhasrat membantu percepatan rekonsiliasi di Afganistan maka langkah yang taktis adalah melibatkan NUA dan para ulama NU serta MUI. (KH As’ad Said Ali)